Lanjutan dari posting: The Last Meeting (part 1)
***
kita belari, menari, berhambur pergi.
“Hoshh..
hoshh..”
Gang kecil
berliku. Jalan raya besar berbatu. Gang besar. Sekolah. Anak laki-laki itu
terus berlari dengan keseluruhan tenaganya. Rambut kemerahannya berkilauan
tercampur keringat dan sinar matahari pagi bulan Mei yang masih hangat.
Nafasnya menderu sangat keras. Ia mengambil nafas sangat dalam dan cepat tiap
setengah detiknya, dan tak pernah sekeras ini dalam hidupnya. Goresan berdebu
di lututnya itu terlihat jelas, hasil dari dua kali terjatuh di belokan gang
menuju jalan besar berbatu. Dia terus mengayuh tungkai kakinya, meskipun
betisnya sudah terbakar dan kehilangan tenaga. Mungkin jika di saat-saat
normal, ketika dia tak seterdesak ini seperti biasanya, dia pasti sudah pingsan
sejak lima menit tadi. Atau kemungkinan kedua dan sangat rasional, dia lebih
memilih tetap di kamarnya, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, dan segala
kemungkinan percabangan kejadian berikutnya yang akan terjadi, sesuai
analisisnya. Tidak berlari kesetanan seperti ini, meskipun dia sendiri sangat
sadar, dia sangat lemah dalam segala kegiatan yang menggunakan kekuatan fisik.
Ya, sekarang perasaannya sudah mengalahkan logikanya. Mengalahkan imannya.
Mungkin masih sempat. Semoga masih sempat.
Matanya semakin
berkunang-kunang. Matanya memandang gerbang sekolah dengan tidak jelas, namun
kakinya secara refleks berbelok untuk melewatinya. Tubuhnya melesat, pikirannya
apalagi.
Sesampai di
dalam, larinya segera melambat perlahan hingga akhirnya berhenti. Dia merunduk,
menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di kedua lututnya. Keringatnya
menghujani tubuhnya. Keringat di kedua lengannya terjun turun, merambat
perlahan, masuk ke dalam celah di sarung tangan kulit yang ia kenakan.
“Hahh!..
Hahh!..” Dia melihat bayangan badannya sendiri di tanah dengan keringat yang
menetes dari rambutnya. Dia kehilangan semua energinya untuk bergerak. “seperti
mau mati.”
Dia melihat
goresan di lututnya. Otaknya otomatis berfikir, beberapa menit lagi goresan itu
akan menimbulkan rasa sakit dan semakin menghambatnya untuk bergerak. Di
samping itu, dia memang sedang terburu-buru.
Wajahnya
menyeringai, karena sulitnya paru-parunya memisahkan oksigen dari kumpulan
udara yang sangat pengap ini. Udara yang pengap di dalam alam sadarnya. Pengap
di dalam pikirannya saat ini yang dipenuhi oleh percabangan pertanyaan yang tak
terjawab, pengap yang mengotori di semestanya dengan perasaan-perasaan yang tak
rasional. Sudah terlambatkah?
Dia berdiri dan
melihat sekeliling. Di sebelah kirinya matanya memperlihatkan lorong sekolah
sebelah barat. Di sebelah kanan tampak sebaliknya, lorong timur dari sekolah
tersebut. Matanya terpaku di sana, lorong sekolah sebelah timur. Dia perlahan
menyusuri lorong itu tak sabar mencari ujungnya. Apa lagi, kalau bukan sebuah
menara berlonceng.
Menara
berlonceng itu adalah satu-satunya penanda waktu untuk pergantian pelajaran di
sekolah tersebut. Segala kegiatan dipisahkan secara besar oleh gema benda yang
tergantung 4 meter di atas udara yang muncul tiap dua jam tersebut. Bergema
sepuluh kali, saat dimulainya pelajaran pertama dan terakhir, dan bergema tiga
kali di pergantian pelajaran pertama di tengah-tengah.
Menurut yang dia
ketahui, lonceng itu bahkan lebih tua daripada sekolah itu sendiri. Awal
mulanya berpuluh-puluh tahun yang lalu lonceng tesebut tergantung di menara di
tengah desa ini. Diletakkan di tengah pusat desa, sebagai penanda dan alat
pengadu bagi warga kepada kepala desa untuk dikatakannya ketidakadilan,
ketimpangan tindakan, keinginan, atau juga hanya sebagai alat pemberi tahu darurat
bagi seluruh warga di desa. Berteknis simpel, lonceng tersebut memiliki tali
penarik yang menjulur ke bawah untuk bebas digapai siapapun. Saat ada warga
desa merasa diperlakukan tidak baik ataupun mengalami masalah dengan
tetangganya ataupun hal lainnya, dia hanya perlu datang ke pusat desa,
membunyikan lonceng tersebut, maka ketua desa akan datang untuk mendengar dan
memberikan solusi serta juga kebijakan-kebijakan untuk mengatasi permasalahan
orang tersebut. Hal ini berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya sang ketua
desa meninggal dunia. Untuk menghornati sang ketua desa, para warga mengukir
kalimat terakhir yang diucapkan oleh ketua desa tersebut di permukaan lonceng,
dan menulis segala kebijakan yang pernah diucapkannya di menara loncengnya. Sejak
saat itu, lonceng itu tidak digunakan lagi, dan kebijakan-kebijakan yang
tertulis akhirnya menjadi hukum tetap yang berlaku di desa ini hingga sekarang.
Gema sebelas suara.. di
sela kepadatan semesta kecemasan yang meracuni pikirannya saat ini, dia masih
memikirkan tentang arti kalimat yang muncul di puzzle yang kedua. Bagaimana tidak, teka-teki sudah menjadi
sarapannya sehari-hari. Dia sudah terbiasa secara mental berhadapan berbagai
bentuk dari berbagai macam teka-teki. Mulai dari skala mainan, hingga kasus
kejahatan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, dia sejak lama sadar dan mengerti,
bahwa dunia dan kehidupan ini sendiri adalah sebuah teka-teki yang
super-mega-giga maha besar. Sebuah teka-teki yang penuh berisi motif,
kemungkinan, percabangan, penggabungan, serta daya kreasi yang tak terhingga
banyaknya. Teka-teki Maha Agung, yang hanya dapat diciptakan oleh Sang Maha
Segalanya. Bahkan untuk dapat mengukur seberapa besar sebenarnya teka-teki
kehidupan itu sendiri, meskipun tanpa berusaha berhadapan atau menyentuhnya,
hanya melalui satu sisi pendekatan ilmu, akan menjadi sebuah teka-teki seumur
hidup sendiri bagi seseorang yang jiwa yang terpanggil ke-ilahi-annya untuk mengetahui makna dari kehidupan manusia itu
sendiri. Kecepatan umur dan kemampuan berpikir otak manusia akan dibuat
berlutut tak berdaya di depan muka daya hidup dari kehidupan yang multi-complex. Kehidupan yang besar,
namun sederhana. Kehidupan yang kejam, namun juga paling jujur dan bersahabat.
Seorang ahli filsafat-pun, jika ditanya apa sebenarnya kehidupan itu? Dia akan
sadar betul bahwa sisa umurnya tak akan cukup untuk menjelaskannya. Dia hanya
akan mengatakan segala perumpamaan dan penyimbolan tentang inti dari kehidupan,
sesuai perspektif apa yang dialami dan dirasakannya dari kehidupan. Subyektif?
Tentu. Relatif? Absolut ya. Yang pada akhirnya mengembalikan si penanya
tersebut untuk bertanya pada dirinya sendiri, apa arti kehidupan itu bagi
dirinya, yang juga partisipan/ bagian dari kehidupan itu sendiri. Sebuah tanda
tanya besar yang dititipkan oleh Sang Daya Hidup dari kehidupan itu sendiri
untuk mengalami proses ditemukan. Tapi tidak untuk benar-benar ditemukan. Namun
untuk penumbuhan. Yang menuntun pada satu pemberhentian semu untuk
pengistirahatan petualangan jiwa manusia; “kehidupan itu maha besar dan penuh
misteri”. Bagaimana dan mengapa pikiran kita mampu mempertanyakan tentang
eksistensi dari kehidupan, ataupun mempertanyakan pikiran itu sendiri,
merupakan suatu teka-teki tersendiri kan? Telah sejak lama sekali, semesta pikiran
kita sanggup mempertanyakan dirinya sendiri.
Tak salah lagi, lonceng ini. Seperti waktu itu. Secara mudah, dia dapat mengasumsikan kata ‘gema’ tersebut adalah
tentang lonceng sekolah ini. Benda dengan diameter satu setengah meter,
berkilau kekuningan, logam, dan sensitif terhadap getaran. Berpuluh-puluh menit
lalu ketika ia memikirkan arti kalimat ini di dalam kamarnya, dia mengalami
kebuntuan. Entah apa yang terjadi pada dirinya, namun ia membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk menyadari bahwa itu ada sebuah lonceng. Tapi ketika dia
memikirkannya lebih lanjut dengan menghubungkan dengan kalimat selanjutnya;
‘sebelas suara’, dia kembali ragu. Ada dua kata kunci; sebelas dan suara. Jika
dihubungkan dengan informasi yang ia ketahui, lonceng ini hanya dibunyikan
sepuluh kali ketika di awal pelajaran dan juga di akhir pelajaran, bukannya
sebelas. Seharusnya, sepuluh. Kenapa
sebelas? Dia masih memutar-mutar dan merombak segala kemungkinan. Secara
teknis, jika sebuah puzzle tak dapat
dipecahkan dengan suatu teknik mekanikal, maka ada kemungkinan dapat dipecahkan
secara motif. Dia berpikir tentang apa maksud dibuatnya kalimat ini. Dia
berusaha menggabungkan dengan kalimat di puzzle
awal: ‘last meet sayonara’. Jika
kalimat tersebut memiliki maksud waktu, yaitu ketika lonceng di sekolah ini
berbunyi sebelas kali, apakah mungkin maksudnya dia ingin bertemu untuk
terakhir kalinya di waktu itu? Jika memang benar, kapan ‘waktu’ itu? Jika
ternyata bukan, lalu apa maksudnya? Ah, sudahlah..
Ia sampai di
dekat menara lonceng. Langkah kakinya perlahan membawa dirinya semakin
mendekat. Nafasnya masih saja berat.
Ia mendapati
seorang lelaki tua dengan baju Tuxedo
rapih lengkap sambil membawa jam saku keemasan berdiri di samping menara,
tertutupi bayangan pohon besar di sampingnya. Orang tua, yang berperan ganda
bagi seorang gadis yang dicarinya saat ini. Selain sebagai supir pribadi, dia
juga berperan sebagai saudara, sahabat, ayah, dan juga tanpa terkecuali ibu.
Hanya orang tua itu, satu-satunya anggota keluarga yang masih dimiliki gadis
itu hingga saat ini. Dia hanya melihatnya beberapa kali ketika dia berkunjung
ke rumah gadis itu. Orang tua, yang hingga sekarang tak ia ketahui nama aslinya
tersebut, berkali-kali melihat jam yang digenggam di tangan kanannya. Ia tahu,
jika orang tua itu berada di sini, berarti gadis itu juga.
Begitu melihat
dirinya, secara refleks orang tua tersebut membungkuk untuk memberi salam
padanya, “Tuan Key,”
“Di mana?”
tanyanya cepat. Ia bahkan tak punya banyak waktu untuk pertanyaan dengan
kalimat lengkap.
Orang tua itu
mendongak, mengarah ke atas. Tepat ke arah lonceng.
Tentu saja.
***
Langit berwarna
kebiruan cerah. Beberapa awan seputih kapas bergerak semu dengan sangat pelan,
memberi ornamen, menemani langit biru yang sepertinya kesepian. Angin berhembus
lembut, membawa udara hangat ke segala arah, membisikkan kedamaian yang tak
dapat disangkal makhluk hidup manapun.
“Kau terlambat,
Keane.” suara yang begitu dia kenal itu seketika muncul dari arah yang ia duga.
Hanya saja yang ia dengar kali ini lebih datar. Suara itu terasa agak kecil dan
jauh, terhalangi angin pagi tipis yang berhembus. Dia masih terus memandangi
atap menara itu. Masih tak dapat melihat sosok gadis itu. Cukup lama.
Laki-laki itu
masih diam. Tak segera menjawab pertanyaan itu. Lama, seperti ada jeda kosong
yang menghalangi suaranya untuk menjawabnya. Seperti mereka berdua berada di
dua dimensi yang berbeda. Berkebalikan dari suasana kekosongan yang sangat
kompleks ini, pikirannya saat ini sangat pekat, dipenuhi banyak hal yang datang
silih berganti tak teratur, acak, dan memproses semuanya secara bersamaan.
Cukup lama,
hingga akhirnya, “terlambat, untuk apa?”
Terdengar suara
itu mengambang di udara. Canggung, penuh keraguan yang tak teratasi.
Udara kembali
beku. Dialog singkat yang seolah terjadi selama seribu tahun.
“Di sini damai,
ya..” suara itu melembut, tak sedingin di awal. Keane yang kukenal tak pernah terlambat.
“Claire..”
“Aku seperti
ingin selamanya di sini. Menikmati angin ini, langit ini, dan terlebih lagi,”
ada jeda singkat di kalimatnya. “kebebasan ini.”
Key melihat ke
atas. Langit biru yang menaungi mereka. Ikut menyelami kedamaian. Beberapa saat
ia ikut tersedot, hingga ia kembali sadar; ada sesuatu yang harus diselesaikan.
Dipastikan.
“Benarkah, itu,
Claire?” tanya Key, akhirnya. Ia mengambil nafas panjang. “Ini adalah sebuah
perpisahan?”
“Tapi setiap
kebebasan ada batasnya. Tak pernah ada yang namanya kebebasan kekal.” Gadis itu
lebih seperti bicara pada dirinya sendiri, seperti tak peduli ada yang
mengajaknya bicara saat ini.
“Claire..”
sekali lagi kalimat itu terulang. “benarkah?”
“Sudahkah kau
memecahkannya?” gadis itu tak mau membuang waktu lagi. Ia seperti bermain-main
dengan butiran pasir sang dewa waktu. Berubah mode.
“Hanya yang
pertama, yang kuketahui maksudnya,” Key masih tak bisa lepas dari kecanggungan.
“Claire, benarkah?”
Dia sama sekali
tidak dapat bersikap biasa. Seperti bukan Key yang biasanya. “Benarkah, aku
tidak akan dapat melihatmu lagi?”
“Dan yang kedua,
kau masih tak mengetahui maksudnya?” jawab See, masih lembut. Masih
menyembunyikan sosoknya di balik atap menara. “Kau masih tak mengerti tentang
‘gema sebelas suara’? Benar?”
Bagaimana dia bisa.. Key
hanya terdiam. Pikirannya hanya sesaat memikirkan itu, karena dalam sekejap
pikirannya kembali kusut oleh pekatnya informasi yang dipikirkan otaknya saat
ini.
“Kau, datang ke
sini.. karena instingmu?”
“Ya..” jawaban
itu muncul setelah jeda panjang.
“Jika kau memang
tak mengeti artinya, mengapa kau tak naik saja ke atas sini, bersamaku?
Menikmati langit ini?”
Masih terdapat
kekosongan. Tak ada jawaban.
“Dari sini
langit biru-nya terlihat sangat jelas lho!.. Anginnya juga terasa sangat
sejuk..”
“Ah, tapi
percuma,” Kalimat itu cepat. “kau hari ini tertutup awan, Keane. Tak terlihat.”
Hening. Kesekian
kalinya
Cukup lama.
“Kenapa kau
kemari, Keane? Kau bahkan tak tahu arti dari perjalananmu kemari. Kau tidak
seperti yang biasanya..” suara itu mulai mengalir. “Berlari-lari kemari, tanpa
tahu makna.. tanpa tahu tujuan.. tanpa ada persiapan dan rencana..”
“Claire,
berhentilah bermain-main! Berhentilah ber-teka-teki!” Key meledak. “CLAIRE, APA
YANG SALAH DENGANMU?!”
Bisu.
“Jawablah
pertanyaanku! Turunlah, kita bicara!”
“Salah?
Denganku?” suara See tiba-tiba bergetar. “justru tanyakan itu pada dirimu
sendiri! Kau datang kemari dengan berlari tergopoh-gopoh, membabi buta! Hingga
lututmu terluka begitu! Kau kehilangan akal sehatmu?! Kau tak pernah baik dalam
berlari! Kau yang paling tahu itu..”
Lagi-lagi.. dia tahu tentang itu? Bagaimana bisa? Keheranan yang sama terulang untuk kesekian kalinya. Dia menatap
jelas ke atas atap. See tak mengintip dirinya. Belum. Dia sekejab kemudian
kembali tersesat dalam kebimbangan. Mesin
waktu? Seperti waktu itu? Ah, itu tak pernah ada! Key membuyarkan
percabangan pikirannya, mencoba kembali fokus.
See hening
sejenak, mengatur kembali nafasnya yang tersengal. Dia mengusap air yang
menetes di pipinya. Memakai topi jeraminya, melesakkan jauh ke wajahnya. “Kau,
seharusnya menanyakan, apa yang salah dengan dirimu. Datang kemari tanpa bisa
menyelesaikan semua puzzle, datang
kemari dengan keadaan diri yang kacau, ceroboh dan tak tenang seperti itu.”
“Kau yang
biasanya selalu tenang dalam memikirkan segala hal. Selalu terorganisir rapih.
Selalu terarah, fokus, dan..” dia menghela. “terlihat ‘sempurna’.”
“Seharusnya kau
tanya dirimu sendiri..” suara itu melega. Lebih ke meledak.
Key merunduk.
Pikirannya sekarang mulai kembali ke jalannya. Lebih tenang. Banyak dari
kecemasan-kecemasan itu mulai memudar. Berganti dengan perasaan haru biru yang
mengalir lembut. Perasaannya mulai menyatu dengan semesta di sekitarnya.
Setenang angin yang bernafas di sekitarnya. Setenang langit biru yang mengawasi
di atasnya.
“Ya, kau benar.
Pertanyaan itu untuk diriku sendiri. Seharusnya begitu. Selayaknya begitu.” dalam
sekejab matanya lembab. “Aku dikacaukan pikiranku.”
“Aku dikacaukan
perasaanku. Akal sehatku kalah.” Suaranya melemah. “Imanku mengalah.”
Key merasa ingin
melanjutkan kalimatnya, menyelesaikannya. Tapi dia seperti merasa cukup. Cukup
selesai.
Gerak semu
langit seolah melambat. Hampir berhenti. Angin berhenti bernafas. Menghentikan tugasnya. Dunia seakan bekerja.
Seolah semua detik jam di seluruh dunia berhenti berdetak. Seolah semua angka
di dunia berhenti menjumlah. Seolah semua makhluk hidup menghentikan detak
kehidupannya, mem-pause semua proses
metabolisme-nya.
Seolah seluruh
alam menghenti untuk melihat mereka berdua.
“Keane,” nadanya
kembali normal. “bukannya dulu kau yang pernah bilang, kita tak boleh kalah
oleh perasaan kita? Kita harus mendahulukan logika kita? Akal sehat kita? Kita
harus mendahulukan kebenaran, bukannya perasaan kita, yang mungkin saja terlalu
berpihak? Yang mungkin saja salah?”
“Ya” suara itu
hampir tak terdengar.
“Lalu, kenapa
denganmu sekarang? Apa yang salah?” See semakin membenamkan topinya ke
wajahnya. Menutupi mimik wajahnya. Entah apa kata Key jika dia melihat ekspresi
wajahnya sekarang. Ekspresi yang muncul tiap gadis itu menghawatirkan
keadaannya. Dia selalu berusaha tampil kuat di hadapan laki-laki itu. Terlebih
untuk hari ini. Saat ini.
“Salah?” Key
masih merundukkan wajahnya. Menggali-gali informasi dalam pikirannya. Hidup, mungkin iya.
Pikirannya masih
berjalan sangat acak. Ia menggali segala faktor yang ia duga menjadi segala
kecemasanya, segala pertanyaannya. Segala hal yang masih belum ia mengerti
tentang kehidupan ini. Perasaan apa ini?
See masih
membuka mulutnya, ingin memberendel dengan ribuan pertanyaan lagi. Tapi dalam
sekejab ia sadar, tak ada lagi yang perlu ia tanyakan. Cukup, pikirnya. Ia tak
ingin membuang-buang tenaga untuk sesuatu yang tak perlu hasil. Iya juga merasa
sudah cukup.
Ia kembali mengusap
cairan yang mengalir di pipinya. Dalam sekejab pikirannya tersedot acak tapi
terarah, dalam kecepatan cahaya sampai pada ingatan ketika mereka duduk berdua
suatu sore di lapangan tengah sekolah. Seperti kebiasaan mereka berdua yang
hampir selalu mereka lakukan tiap sore: menikmati matahari terbenam.
…
…….
“Tapi
ngomong-ngomong.. Keane, apa kau percaya pada takdir?”
“Takdir?” Key
tersenyum. Dia tampak santai, tak berusaha membenarkan posenya yang sekarang.
Siku tangannya masih bersandar di anak tangga kecil, tempat empat buah anak
tangga beundak kecil yang menghubung antara lorong sekolah dengan lapangan
berumput di tempat mereka. Seperti biasa, mereka duduk berdua menikmati
terbenamnya matahari bersama di sore hari.“Maksudmu kepercayaan bahwa segala
hal yang terjadi atau proses di dunia ini sejak awal telah diatur oleh Sang
Maha Hidup, atau yang biasa mereka sebut Tuhan?”
See hanya
mengangguk kecil, hanya memandangi wajah sosok didepannya yang kejinggaan
terkena pembauran cahaya dari sang surya.
“Kalau kau
sendiri?” Key kembali bertanya, seolah sedikit enggan menjawab.
“Emm..
Entahlah.. Aku cuma ingin tahu pendapatmu saja. Aku selalu penasaran dengan
konsep takdir itu.”
“Ada yang sedang
menjadi pikiranmu?”
“Emm.. tidak
juga.. hanya tiba-tiba terlintas saja. Tiba-tiba pertanyaan tentang takdir itu
muncul kembali tadi, beberapa detik lalu.”
“Huffhh.. ” Key
mengambil nafas panjang, bersiap tentang teori panjangnya. “Oke.” See pun
menatap dirinya lekat-lekat, sebagai konsekuensi pertanyaannya.
“Pertama-tama,
teori ini tidak begitu menjadi perhatianku. Kenapa? Karena tidak dapat
dibuktikan. Jadi hal yang akan menjadi penjelasannya hanya sejauh
analisa-analisa dari teori dari hasil pendekatan masing-masing individu para
ilmuan dan ahli filsafat yang berusaha memahaminya.” Key memberi dasar, sebagai
salam pembukanya. “Selalu ada dua teori bertentangan yang abadi hingga saat
ini. Yang pertama, adalah; semua makhluk hidup di dunia ini… emm.. atau mungkin
kita persempit saja, yaitu: manusia, benar-benar memiliki hak penuh kendali
atas dirinya. Atas kekuatannya merubah dan berinteraksi dengan objek di
lingkungannya, sekitarnya. Yang intinya: manusia bebas bertindak apapun sesuai
kehendaknya, tanpa terikat oleh hal lain yang mengontrolnya. Manusia memiliki
kendali dan tanggung jawab penuh atas tindakannya.”
Dia berjeda.
“Lalu, teori kedua: semua makhluk, tanpa terkecuali, memiliki garis takdir yang
dipersiapkan untuk tiap dirinya jauh sebelum mereka terlahir nyata
eksistensinya di dunia ini. Jauh sebelum ia memiliki pikiran ataupun bertindak.
Takdir ini mengatur segala hal yang terjadi pada objek makhluk itu, sehingga
apapun yang terjadi atau dilakukan makhluk itu telah ditentukan sejak awal oleh
takdir. Intinya: segala hal yang dilakukan manusia sejak awal telah ditentukan
oleh takdir yang ditulis Tuhan. Meskipun manusia bebas berkehendak dan
berusaha, sejak awal hal itu telah dituliskan, dan telah menjadi rencana dari
Sang Maha Hidup tersebut. Semuanya telah terkonsep. Seperti skenario dalam
panggung sandiwara, dengan Tuhan sebagai dalangnya. Kebebasan manusia
sebenarnya adalah semu. Ilusi.”
See masih setia
mendengarkan. “Aku suka simulasi sederhana dengan ‘Pohon Apel’ ciptaanku. Here is the case. Ada pohon apel yang
tumbuh liar di alam luar. Pohon itu terus tumbuh dan berbuah. Dan ada dua
manusia yang mengamatinya. Pada manusia yang berpaham teori satu, kita sebut
dia sebagai: Manusia 1, dia berpendapat bahwa tumbuhnya buah apel tersebut
adalah sebuah kebetulan. Accident.
Sesuatu yang tidak direncanakan. Mungkin saja ada manusia yang membuang sisa
buah apel yang telah dimakannya di sekitar tempatnya tumbuh, lalu tumbuhan apel
itu tumbuh. Atau ada kemungkinan lain, tak jauh dari sana ada juga pohon apel
lain, apelnya jatuh di tanah, dimakan hewan, lalu bijinya jatuh di sekitar
tempat tumbuhnya sekarang. Apapun kemungkinannya itu. Biji apel itu dapat
tumbuh, karena lingkungan sekitarnya memungkinkannya tumbuh. Memungkinkan terjadinya
proses hingga tercipta kehidupan.
Seperti yang
dapat kita duga bersama, teman satunya, Manusia 2 berpendapat bahwa segala
analisis yang dikatakan Manusia 1, apapun kemungkinannya itu, semuanya semuanya
telah tertulis. Adalah takdir. Memang sejak awal apel itu ditakdirkan tumbuh,
digariskan untuk tumbuh, dan kita tak dapat mengubahnya, mengendalikannya untuk
dapat mengalami hal selain itu. Dia mempercayai, bahwa jauh sebelum apel itu
tumbuh, bahkan jauh sebelum pohon asal dari buah dari biji apel itu tumbuh,
jauh sebelum apapun terjadi, tanaman apel ini memang telah direncanakan tumbuh
di tempatnya yang sekarang.
Manusia 1 tak
percaya dengan teori manusia 2 dengan mengatakan “Itu tak benar. Kita, makhluk
hidup, dapat bertindak dan merubah kondisi, bagaimana bisa semuanya memang
telah diatur sejak awal?”. Dia lalu mengambil air dan menyiramkannya ke tanaman
apel itu. “Lihat, aku dapat menyiraminya dengan air. Sekarang dia akan hidup
lebih baik. Jika sekarang aku memberinya pupuk, nanti dia akan berbuah lebih
banyak. Bahkan jika aku mau, aku dapat memotong tanaman ini sekarang dan dia
akan mati. Kita, manusia, dapat melakukan apapun untuk merubah hal. Kita
mempunyai hak kuasa untuk memilih!”
Kembali lagi,
seperti yang terduga, Manusia 2 berkata,“Semuanya yang terjadi sekarang ini,
memang telah diatur sejak awal. Kau menyiram tanaman itu barusan, sudah
direncanakan. Dan tak ada yang bisa mencegah dirimu, jika kau memang
ditakdirkan untuk menyiram tanaman itu. Dan apa yang akan terjadi dengan
tanaman itu di masa depan, semuanya telah ditakdirkan. Apapun itu. Bahkan kita
memperdebatkan semua hal tentang tanaman apel itu sekarang, sejak awal memang
harus terjadi.””
“Kau tahu apa
yang terjadi dengan mereka berdua?” Key menutup penjelasannya, merasa tak ada
lagi yang perlu dijelaskan.
“Mereka kembali
ke jalan masing-masing?”
“Yuph! Mereka
kembali ke jalan masing-masing, meyakini apa yang mereka yakini sejak awal.”
Terdapat senyum kecil di bibirnya. “Mereka sadar, terus berdebat tak
menghasilkan apa-apa. Malah mereka hanya terus membuang waktu dengan berusaha
membuat orang lain percaya apa yang mereka percayai, bukannya menjalani hidup
sesuai yang mereka percayai.”
See mengangguk
pelan. Ikut tersenyum. “Aku mengerti. Benar, lebih baik pilih salah satu, lalu
menerapkannya dalam hidup kita. Daripada memperdebatkan siapa yang benar dan
salah.” Dia lalu membuat kesimpulan lagi. “Mungkin saja, salah satu dari mereka
benar, tapi terus memperdebatkannya adalah jelas-jelas salah.”
“Genius! You got it!” Key menepuk pundak See.
“Jelaslah!..
siapa dulu, dong, gurunya!.. hahaha..” See tertawa lepas. Sejenak, dia kembali.
“jadi, apakah aku bertanya hal barusan itu, hal yang salah?”
Key menggeleng.
“Tentu saja tidak. Tak pernah ada yang salah dari sebuah pertanyaan, yang
bersumber dari ketidak-tahuan.”
“Bagaimana kalau
ternyata, aku sebenarnya sudah tahu tentang hal itu sebelumnya?” See menyimpul
senyum kecil. “Bagaimana kalau sebenarnya aku hanya ingin tahu apa pikiranmu?”
Cukup lama.
Ruang di antara
mereka berjalan melambat.
Key memutuskan
untuk mengatakannya. “Ya, aku sudah mengetahuinya.”
“Kau kira aku
siapa-mu? Kau kira kau siapa-ku? Tentu aku tahu.” Dia memandang mata See cukup
dalam. Tak pernah seserius ini. “Tentu aku tahu, bahwa kamu sebenarnya telah
mengetahuinya. Sama seperti: tentu kamu juga sebenarnya telah tahu, bahwa aku
juga mengetahuinya bahwa kamu sebenarnya telah mengetahuinya. Benarkan?”
Memangnya, aku siapa-mu, Keane? Boleh aku
mendengarnya? Sudah lama aku ingin tahu.. Ah, bodoh kau, See! Bodoh! Bodoh!
Bodoh! Bodoh! Bukan itu inti penjelasannya! Tapi, sama-sama tahu, bahwa kalian
saling sama-sama tahu! Itu intinya! Hal ini akan kadaluarsa dalam 0,75 detik
lagi! Pikiran See berkecambuk, tapi sigap dalam
satu setengah detik kemudian. Menutupinya lagi dengan senyum kecil. “Benar!
Genius!”
Seperti biasa,
See. Kau kembali menyesal.. Dan seperti biasa juga, kesempatan itu terlewatkan
lagi.. “Tapi, ngomong-ngomong, Keane, dirimu
manusia yang mana?”
“Hmm..” Mata Key
berputar. “Aku belum memutuskannya. Tapi aku menikmati dialog kita ini.
Setdaknya aku meyakini itu.”
See melihat
senyum kebahagiaan itu, lalu ikut tersenyum. “iya.. aku juga menikmatinya!..
Kita selalu cocok dan klop! Kita selalu mengalir ke tiap-tiap tujuan kita
masing-masing, tapi bermuara ke tempat yang sama dan selalu bersama-sama.
Seperti semuanya telah diatur..”
“Hmm… Aku tahu
sekarang, dirimu itu manusia yang mana..” Key dalam sekejab menyeringai tajam.
“Hahahahahaha..”
See tertawa lepas. Selepas-lepasnya, karena tak ada kata-kata untuk meng-cover
pernyataan itu. Tapi dia berusaha. “Ya, kau benar, aku percaya bahwa semuanya
ada yang mengatur. Tapi aku tak percaya takdir.” Jelasnya singkat.
Key tak
bergeming. Seolah tak memperdulikan.
See sadar, tak
perlu ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini untuk mereka. Mereka telah
menikmati perasaan ini, perasaan bersama-sama. Tak perlu harus selalu sama,
selalu sependapat. Bahkan sering bertentangan dan bertengkar di banyak
kesempatan. Tapi mereka berdua sadar, ini semua.. cukup. Cukup, tak perlu ke
mana-mana lagi. Dia, mereka, menikmati kebersamaan ini yang sesederhana ini.
Tapi terkadang,
hati berbicara, cukup saja tidaklah cukup.
“Oh ya,
bagaimana kalau dengan jodoh? Apakah sama?” See memancing lagi.
“Sudahlah, ini
hanya akan berujung pada perdebatan saja. Sama saja.” Key seolah benar-benar
enggan membahas tentang teori tak berujung ini lagi.
“Huh.. aku kan
masih penasaran untuk yang satu ini. Kelihatannya beda deh..” See memasang
wajah semanis mungkin.
Key melirik
sambil mendengus.
“Ya.. please…” kali ini ditambah kedipan mata
beberapa kali.
“Oke, maksudnya
jodoh, itu apa?”
Yes! See meloncat salto
tujuh kali dalam hati.
“Emm..” See
memutar matanya. Dia mencari kalimat termudah. “Oh! Gini: Sederhananya, jodoh
adalah seseorang yang telah ditakdirkan atau ditentukan sejak awal untuk
menjadi pasangan hidup kita!” See tersenyum lebar, sangat puas dengan
kalimatnya. Sederhana, tapi mengena. Tak banyak, tapi mewakili.
“Kau percaya
dengan teori jodoh itu?” Key singkat.
“Percaya..” lalu
kemudian See membelalakkan matanya, merasa tertipu. “Hey, curang!”
“Kenapa kau
percaya?”
See lega,
ternyata ini berlanjut. “Percaya saja. Gak bisa dijelaskan..”
“Hmm.. oke,
pertanyaanku salah. Aku ganti. Bagaimana kau tahu kalau orang itu adalah
jodohmu?”
JLEB! Pertanyaan yang
sangat mengena. Tepat menembus jantung. Kalaupun dia mempunyai lima jantung
sekarang, kelima-limanya tepat sasaran menembusnya. See memeras otak seketika.
Lama, hingga beberapa saat kemudian, “aku sendiri tak yakin. Tapi mungkin
ketika aku bersamanya aku merasa nyaman, merasa terlengkapi, merasa, “He is the One!”. Begitu?”
“Jika yang kau
maksud Jodoh adalah ikatan takdir yang mengikat dua orang, untuk bersamanya
selamanya, pertanyaannya akan kembali lagi, hal yang paling dasar: bagaimana
kita tahu kalau orang itu jodoh kita? Orang yang bersama kita, bisa
sewaktu-waktu pergi meninggalkan atau menghianati kita. Orang yang telah
menikah bertahun-tahun-pun, bagaimana bisa tahu kalau pasangannya itu adalah
jodohnya? Dua orang, bersama-sama, saling mencintai, lalu mereka saling berkata
ke pasangannya: “kaulah jodohku yang telah dipersiapkan Tuhan untukku..”. Lalu
beberapa saat kemudian mereka menghadapi masalah dan ternyata berpisah. Lalu
mereka berkata lagi, “Mungkin, bukan kau jodoh yang dipersiapkan untukku..
Mungkin ada orang lain yang lebih baik yang telah dipersiapkan Tuhan, untuk
masing-masing dari kita.” Mereka menarik perkataan mereka sendiri. Merevisi-nya
sendiri.”
“Lihat kan?
Manusia adalah makhluk egois. Mempunyai sifat membenarkan perasaannya sendiri.
Ketika menemukan orang yang tepat: orang cocok yang mereka cintai dan juga
mencintai diri mereka balik dengan utuh, dan ketika segala hal ketika itu cocok
dan mendukung, seperti kondisi lingkungan, suasana, atmosfir, seperti seolah
alam semesta mendukung mereka untuk terus bersama ketika saat, mereka dengan
egois ber-statement: “kau adalah jodohku”. Ketika kondisi menjadi sulit untuk
bersama, mereka ber-statement: “mungkin bukan kau jodohku”. Ketika kondisi
berubah lagi, hingga paling fatal, mereka berpisah, mereka ber-statement lagi:
“Jika memang bukan jodoh, tidak dapat dipaksakan”. Lalu apa poin yang tersisa
dari pengertian ‘jodoh yang telah ditentukan?’. Hanya ilusi yang mereka buat
sendiri untuk menghibur hati mereka sendiri. Bahkan keyakinan mereka tentang
‘orang yang tepat’, juga diragukan. Memang, orang itu harus se-‘tepat’ apa?
Sedetil apa? Sesempurna apa? Tepat itu relatif. Kita mentoleransi standar
‘tepat’ kita sendiri, ketika kita jatuh cinta pada seseorang.”
Keane memberikan
pungkasan penutupnya. “Segala hal di dunia, sebenarnya relatif. Apapun itu.
Manusia hanya memberi batasan-batasan dan persentasi toleransi, untuk
pengkategorian absolut.”
See merunduk,
tak sanggup memperlihatkan wajahnya. “Jadi, intinya, kau tak pernah percaya
dengan jodoh?”
“Kita dapat
dipertemukan dan dipisahkan oleh segala hal secara acak. Universe Conspiration, tak selalu sama dengan rencana kita.”
“Kenapa kau
begitu pesimistis? Skeptis?”
“Bukan,
Realistis.”
“Pernahkah kau
berharap kebaikan? Entah itu pada seseorang, atau sesuatu? Berharap segala sesuatu
berjalan sesuai dengan yang kau harapkan?”
“Maksudmu,
berusaha mempertahankan agar sesuatu berjalan sesuai keinginanku?” Key
mengklarifikasi.
“Bukan, bukan
berusaha. Tapi lebih ke: percaya dalam hati bahwa segalanya akan baik-baik
saja.”
Keane menutup
matanya, merenung sejenak. Tiga tarikan nafas. “Maaf, aku bukan penjudi.”
Satu kalimat tersebut
menjelaskan segalanya.
“Kau pasti
pernah kehilangan seseorang, benar kan?” See sedikit memberi tekanan pada kata
‘kehilangan’.
Key membuka
matanya. Tak ada jawaban. Hanya nafas.
“Sama
sepertiku.” See menutup pertanyaan itu sendiri. Menjawabkan kalimat itu untuk
mereka berdua.
Key membuka
mulutnya. Seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada yang keluar. Dia hanya
ikut merunduk.
Langit semakin
terlihat seperti kumpulan ribuan jeruk yang bersinar menyala. Angkasa seperti
berkata bahwa panggung untuk hari ini segera berakhir. Harapan untuk hari ini
akan disambung untuk esok hari.
“Sudah sore,”
See beranjak dari tempat duduknya. “ada yang harus kukerjakan.”
Tiba-tiba tangan
See terantai sebentuk genggaman. Tangan Key. “Jangan pergi dulu.” Nafas itu
kembali meragu. “Setidaknya hingga hatimu tenang.”
See memandangi
Key. Dua mata itu bertemu dan berpeualang sejenak. “Tidak. Aku tidak apa-apa,
Key. Memang ada yang harus kukerjakan.”
“Tunggu aku.
Tetaplah di sini sebentar lagi..”
Ruang kosong.
“Sebentar lagi
matahari itu tenggelam. Kita ditakdirkan duduk di sini dan menikmati senja
bersam-sama.. aku tak ingin takdir kita terputus sampai di sini. Aku berharap
genggaman ini sanggup memperpanjangnya. Beberapa menit?”
Mata mereka
kembali berpetualang. Mereka berdua tahu, tak pernah ada kebohongan.
“Dua menit tujuh
detik lagi, Key.” Akhirnya terbingkai senyum lagi di wajah See. Dia kembali
duduk di tempatnya semula. Tak bergeser sedikitpun. “Oke, aku akan menunggumu.
Menemanimu hingga tiga menit lagi, hingga satu menit setelah matahari itu
tenggelam.”
“Terima kasih.
Itu cukup.”
“Aku berharap,
kita dapat selalu saling menunggu seperti ini.”
“Giliran
berikutnya, apapun itu, aku yang akan menunggumu.”
“Terima kasih..”
Tentu saja kau sungguh mampu. Aku sekarang
mencair!.. Sangat! Sangat Mencair!..
“Oh ya, kau tadi
bilang ‘takdir’, ya?”
“Kau tak salah
dengar.”
“Lalu,
sebenarnya kau ini manusia tipe mana, sih?” Jengkelnya terhadap anak laki-laki
ini kembali lagi sampai ke ubun-ubun. Seolah semua yang dia terangkan tentang
teori takdir di awal hanya sebuah lelucon besar.
“Aku… emm.. Hybrid.”
“Hmm, Hybrid? Maksudnya?!”
“Eh, sudah
mulai!..” Key menunjuk ke arah pertunjukkan utama.
“Hei, jawab dulu
pertanyaanku!..”
***
“Kenapa?”
kalimat itu terlahir selayaknya lubang hitam oksigen. Menyerap tanpa henti
semua oksigen di sekitarnya, hingga tercekat dan hampir mustahil bernafas.
Setiap kalimat antara mereka berdua saat ini semuanya menjelma menjadi lubang
hitam oksigen tanpa terkecuali. Membuat bernafas menjadi pilihan yang buruk
untuk makhluk hidup di sekitarnya saat ini, namun memilih untuk tidak bernafas
tetaplah sebuah pilihan terburuk.
“Key, kau
sendiri yang pernah bilang kan? “jangan pernah menggabungkan ingatan baik atau
buruk dengan perasaan. Karena itu akan meng-hiperbola, menjelma membesar,
mengangkasa, menjadi jauh lebih besar dari kejadian yang sebenarnya.”. katamu
lagi, “bersikaplah adil kepada ingatanmu, agar tetap objektif.”” See mengatakan
kalimat itu dengan segenap tenaganya. See hampir tak percaya, dia sekarang yang
harus mengembalikan kalimat itu kepada sang pemberi. Sebuah ide yang mereka
yakini berdua: ‘ingatan selalu menipu, ketika itu tercampuri oleh sebuah
perasaan.’ Ingatan manis, setelah beberapa waktu akan berevolusi menjadi sangat-sangat-sangat
manis daripada kejadian manis yang sesungguhnya, karena seiring bertambahnya
waktu, kita terus menerus menambahkan rasa ‘manis’ itu ke ingatan kita. Begitu
pula itu berlaku untuk kenangan buruk. Oleh karena itu, mengingat kembali
kenangan manis selalu lebih indah daripada mengalami kembali kejadian manis
yang sesungguhnya. Mengingat kenangan buruk, selalu lebih ‘membunuh’ daripada
kejadian buruk itu sendiri. Ingatan menjadi tak akurat lagi datanya, karena ia
merubah bentuk, warna, ukuran, suhu, dan suasana. Oleh karena itu, di dalam
persidangan kesaksian dari saksi mata tidak dapat dijadikan barang bukti. “Kau
sekarang tidak objektif.”
“Kenapa kau
harus pergi?”
“Aku tak boleh mengatakannya”
See jengah. Dia beranjak dari tempatnya bersarang selama dua jam lebih itu.
Hela nafas panjang. “Jika kau tak mau naik, aku yang harus turun.”
See berdiri
selama beberapa detik, untuk menguatkan kakinya lagi setelah duduk sekian lama.
Dia berjalan mendekati salah satu ranting pohon terdekat dan menelusurinya
perlahan ke bawah.
Sedetik ketika
kedua kaki See menginjak tanah, Key dengan kecepatan kilat menyeret tangannya.
Mengajaknya berlari tanpa berkata-kata.
“Hey, Keane!
Kemana kita?!” See otomatis berteriak. Badannya tergoncang, dan kakinya
tertatih mengikuti lari kaki Keane. Dalam pikirannya sekarang begitu terkejut,
panik, dan sedikit takut. Hal ini terjadi di luar dugaannya.
Key hanya
memandang lurus ke depan, tak menjawab. Hanya terus memperkuat gengaman
tangannya dan lari kakinya. Dan nafasnya, tentu saja.
Laki-laki tua
yang sejak tadi menunggunya pun tak kalah terkejut. “Nona, kita harus segera
berangkat!” ia menambah teriakannya untuk memastikan. “Segera!”
“Tenang,” nafas
See terengah. “aku segera kembali!” lalu pandangan See berubah ikut serius
fokus ke depan, bersiap apa yang akan dihadapinya di depan. Ini takkan lama, aku berjanji.
***
Langit malam di
awal bulan Mei begitu cemerlang. Dijejaki butiran-butiran bintang besar dan
kecil. Yang terakhir lebih sering tak terlihat karena kabut dan juga awan tipis
yang menyelimuti sang angkasa di waktu. Lampu-lampu di pedesaan yang mulai
banyak juga sedikit banyak ikut memberikan ilusi ‘menghilang’. Bulan baru juga
ikut menemani. Menambah ekstensi kenapa semua suka menikmati langit dan bintang
di malam hari.
Bipp.. Bipp..
Dua getaran.
Sebuah pesan. Dia merogoh saku jaketnya. Dia menutup blocknote yang berisi tulisan tangan yang baru ditulisnya beserta
pensilnya itu di kantong jaket lainnya. Dia membuka isi pesan yang ter-display di layar telepon selulernya yang
berwarna biru itu.
Lonceng di kalung kucing .Sekolah.
ingat? Sekarang bertambah dua! aku menemukannya tadi sore bertambah menjadi
dua! kira-kira siapa yang menambahkanya ya?
Gadis itu
tersenyum, lalu membalasnya cepat.
Coba tebak?! :P *bersiul*
Dia menekan
tombol ‘kirim’. Lalu bergegas pergi.
…
……
………..
“Keane!” gadis
itu melambaikan tangan pada bayangan hitam di bawah menara.
Sosok itu muncul
dari bayangan. Wajahnya sekarang tampak jelas. “Password?”
“The secret of creativity is knowing how to
hide your sources!” memang tak pernah ada yang menjawabnya secepat dan
sesemangat See. Dia kembali bertanya. “Password?”
“The whole of science is nothing more than a
refinement of everyday thinking.” Jawab Key tenang.
Mereka saling
berpandangan, saling antusias dan berakhir dengan tersenyum. “Great!” “Sip!”
mereka berdua menjawab bersamaan.
“Jadi, kenapa
kau kesini?” Keane memasang wajah heran.
Wajah See
cemberut seketika “Kan, kamu yang menyuruhku ke sini. SMS itu. Pesan
tersembunyi.” See menjulurkan lidahnya. “Kamu kira aku siapa? Tentu kamu tahu
aku tahu.”
Key tersenyum.
“Aku tak pernah
lupa, kau tak pernah memakai huruf besar satupun dalam SMS-mu. Kau tak pernah
membiarkan autotext aktif.” See
sangat bersemangat menjelaskan seperti biasanya. “Yang kedua, tanda titik
setelah spasi. Kau juga tak pernah salah dalam mengetik. Itu tanda kodemu. Lonceng. Sekolah. Sekarang.”
Key tersenyum
lebar, disusul menepuk bahu See. “ Seperti yang kuharapkan. Tentu aku tahu kamu
tahu.”
“Oh ya, sudahkah
kau memecahkannya?” Key merubah topik, langsung pada intinya. Ia melipat
tangannya. Menunggu kejutan.
See kembali
diingatkan sesuatu. “Ah! Petunjuk terakhir. Baru tadi aku menemukannya.” Dia merogoh blocknote-nya dalam saku jaketnya. Dia kembali membacanya.
-
Cahaya dan bayangan tak berlaku untukku. Aku adalah kebenaran.
-
Di ketinggian. Jauh di atas yang kau bayangkan.
-
Aku nyata, tapi tak nyata
-
Diamku selalu menggema.
See kembali
meresapi arti di setiap kalimatnya. Mengkaitkan tiap antar kalimatnya.
Tak butuh waktu
lama. “Ah!..” matanya membelalak, pupilnya melebar. Dia memandang ke atas.
Tepat ke atas menara. Sebuah benda. “Mungkin..”
“Yuph!” Key
kembali tersenyum. “Sangat mungkin!”
“Tapi..” gadis
itu ragu.
“Hanya ada satu
cara untuk memastikan! Ayo!” Key berpaling, bersiap naik ke atas menara.
“Cepat, sebelum group lain juga
menemukan petunjuk terakhir ini. Semuanya sudah kupastikan pasti segera
kemari.”
“Tapi, tunggu,
Keane!” baju Keane tersangkut gengaman tangan See. Keane menoleh. “Ini adalah
tes terakhir. Ini juga adalah tes individu. Hanya boleh ada satu pemenang.
Hanya boleh ada satu agent.”
“Aku tak
tertarik memecahkannya sendiri. Aku ingin memecahkannya denganmu. Aku berharap
kita bisa terus..” kalimat itu mengecil dan tak terselesaikan. Menggantung.
Key menggenggam
tangan See. Menggiring See perlahan untuk ikut memanjat. “Jika memang hanya
boleh ada satu pemenang, kau saja. Tanpa diriku pun, kau pasti pergi ke tempat
ini, kan?”
Dalam keyakinan
dan ketidakyakinan, mereka memanjat menara tersebut.
bagus koq isinya kenapa gk coba di buatkan novelnya saja :D
Bagus nih ceritanya, nunggu lanjutannya ah.. :)
I like this post, why you not try to expose in book or something Crane
thanks atas infonya yah gan..
ditunggu postingan bermanfaat berikutnya kawan..
setujuh tuh. kenapa gak ditulis kebentuk novel. dijamin banyak yang minat.
makasih gan buat informasinya semoga bermanfaat buat kita semua salam kenal aja dari aku
Bagus nih ceritanya, nunggu lanjutannya ah.. :)
keren banget's gan
thank you for the information you have provided to us especially to me personally, just Greetings
terimakasih banyak sob atas infonya sangat bermanfaat
postingannya keren banget's ga ,,,belajar dimana ?
makasih atas infonya
ditunggu postingan bermanfaat berikutnya kawan..
semoga lancar terus deh dalam menghadapi kesulitannya
Salam Silaturahmi dari layanan aqiqah bandung
Salam Sehat...
Mp3 Download
Mp3Download
Free Mp3 Download
nice post, i like it
visit also to mysite
Download 4 video
Download lagu mp3 trend & terbaru
Download Video Terupdate dan Terbaru
free Download Full FTv terbaru Bee FIND VIDEO anymore
Bee FIND free VIDEO
Play 3 Players games Online, 3 Players Games for kids, Y8 3 Players Games, Pog 3 Players Games, Online 3 Players Games - all online three player games. thank you
Izin Menanam Jagung Gan.
http://promp3.wapka.mobi
Nice Post Gan.
Visit.
Situs BOKEP 2016 => BOKEP INDO BARAT
----------------------------
http://jiLmek.wapka.me
DOWNLOAD LAGU MP3 2016 -> http://promp3.wapka.mobi.