-The Last Meeting (Part 1)-

Author: Unknown // Category:

Dia masih duduk di depan meja kayu tersebut. Bokongnya sejak tiga jam lalu mulai panas. Berkali-kali dia berpindah gaya duduk di kursi yang sama. Tangan kanannya masih dengan dengan cepat memainkan mengetuk-ngetuk pensil sepanjang 7 cm itu secara berulang-ulang dan konstan. Berusaha menggapai imajinasi jawaban yang belum juga ia temukan dari kepalanya.
Ugh! Sebenarnya apa jawabannya?
Kedua tangannya kembali memegang erat kedua kepalanya, seolah-olah akan keluar suatu jawaban dari dalam kalau ia memecah kepalanya sekarang. “ayo! Ayo! Berpikir!.. seharusnya ini sesuatu yang simpel. Mudah.” dia berusaha keras menghibur diri sendiri. “tidak mungkin dia membuatnya sesulit itu.”
Kertas-kertas buram yang biasa ia gunakan untuk menghitung soal-soal matematika ketika sedang mengerjakan soal di dalam kelas sejak beberapa jam lalu berserakan di atas meja. Kebanyakan penuh berisi coretan deretan serta susunan huruf alphabet dan juga hitungan angka-angka. Beberapa di antaranya berbentuk bola-bola kertas tak beraturan berserakan di lantai, hasil dari perasaan jengkelnya atas kalimat yang terus berputar-putar di kepalanya selama berjam-jam ini. Kertas putih bersih yang berisi tiga deret huruf itu masih di sana. Ia masih ingat jelas ketika ia pertama kali membuka amplop coklat yang dia temukan di antara halaman buku tulis matematikanya itu dan menemukan tiga kalimat absurd, tidak, lebih tepatnya tiga susunan kalimat sandi tak beraturan yang harus ia pecahkan. Dua kalimat puzzle, huruf balok yang diketik rapih dengan mesin ketik.


LAARSATNMOEYEATS


GAERMAAUSSESBAEL


XV-TNAMAPNEMEGIALI
X2


C-U

Mereka berdua sangat menyukai puzzle dan kalimat sandi, dan terbiasa sering saling mengirim kalimat sandi untuk dipecahkan. Ia segera tahu kalau itu adalah sebuah puzzle untuk dipecahkan –dan bukan kalimat acak dari orang iseng yang mengerjainya- dari warna amplop yang berwarna coklat itu, serta tulisan C-U di bagian depan amplopnya. Kalau ada orang di dunia ini yang mengiriminya amplop kecil berwarna coklat, cuma ada dua orang: yaitu kepala sekolah tempatnya belajar sekarang-yang selalu digunakan untuk memberi info-info khusus kasus yang harus mereka pecahkan- tiap minggunya, dan juga gadis itu.
Tulisan C-U di depan amplop itu selalu ia sadari bermakna ganda. Makna pertama adalah: C untuk inisial nama gadis itu, dan U untuk ‘you’ yaitu dirinya, orang yang dikirimi surat. Sehingga arti dari kalimat itu dapat diartikan ‘surat dari C untuk Mu’. Dan yang khusus adalah, tak ada orang lain lagi yang dikirimi /yang akan dikirimi surat selain dirinya, sehingga tentu saja arti U adalah hanya dirinya.
Coz it’s exclusive for you.” katanya, saat satu kali pernah bertanya. Kalimat simpel yang menjelaskan semuanya. Tapi juga tak menjelaskan semuanya. Kenapa? Yang ia tahu, hatinya merasa senang ketika mendengarnya.
Makna kedua lebih ke arah lelucon. C-U dapat diartikan sebagai ‘see you’, atau ‘sampai jumpa lagi’. Pernah dia berdebat sengit mengenai masalah arti huruf C-U ini saat gadis itu mengiriminya amplop yang kertasnya hanya berisi huruf C-U.
“Apa itu salah? Coz, aku hanya ingin memberitahumu kalau aku ingin bertemu lagi denganmu besok pagi di kelas. Sekarang.” kata gadis itu membela diri. “it means ‘see you’..
“Tapi kamu membuatku khawatir! Aku seketika datang ke kamarmu, mengira ada apa-apa denganmu! Dan tadi malam, di sana ternyata kamu tertidur pulas di atas kasurmu,” katanya berapi-api sambil nafasnya memburu “tak terjadi apa-apa.”
Gadis itu terdiam seketika. Senyap, melihat ekspresi yang menatap tajam matanya. “Iya, maaf membuatmu khawatir. Gak akan kuulangi..”
Maka sejak saat itu tiap amplop yang dikirim gadis itu kertasnya hanya berisi kalimat sandi untuk dipecahkan. Tak ada lagi tulisan C-U. No ‘see you’ more.
Hingga berbulan-bulan kemudian, malam ini, isi kertas dalam amplop itu kembali bertuliskan C-U.




***
Dia melihat jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul 07:14. Sudah lebih dari 9 jam berlalu sejak dia memutuskan bergelut dengan kalimat-kalimat itu. Sejauh ini ia telah berhasil memecahkan dua dari tiga kalimat isi pesan di amlop coklat itu. Dia merasa sangat khawatir sejak berusaha memecahkan kalimat sandi itu tadi malam. Tulisan C-U itu muncul lagi. Apa artinya ini?
Kekhawatiran ini semakin memuncak, ketika dia berhasil memecahkan kalimat yang pertama. Kalimat yang kemungkinan besar berhubungan dengan tulisan C-U itu.

LAARSATNMOEYEATS

Awalnya dia mengira itu hanyalah kalimat anagram yang diacak seperti seringkali gadis itu mengetesnya, dan berusaha membolak-balik kalimat itu dengan pola-pola sederhana seperti biasanya. Tapi yang didapat hanyalah kalimat acak kembali yang tak bermakna. Tak menemukan hasil, dia menduga kalimat ini memiliki metode pemecahan khusus dengan pola tertentu. Kalimat sandi.
Beberapa kali dia mencoba berbagai teknik yang pernah dia pelajari di buku. Setelah hampir satu jam, setelah mencoba puluhan cara yang ada, dia berhasil memecahkannya dengan salah satu tekniknya.

laarsatnmoeyeats

Dia menulis ulang kalimat tersebut. Dia lalu menaruh tiap huruf secara berurutan dari kiri ke kanan, menjadi awal dan akhir kalimat hingga bertemu di tengah. Menjadi:


l a a r s a t n m o e y e a t s
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16


l a s t m e e t s a y o n a r a
1 3 5 7 9 11 13 15 16 14 12 10 8 6 4 2

lastmeetsayonara

last meet sayonara

Last Meet Sayonara. Lalu disusul dengan akhir kata ‘see you’. Apa arti kalimat ini? Pertemuan terakhir? Selamat tinggal?
Pikirannya melambung jauh. Dia membayangkan apa yang telah dialami, apa yang sedang terjadi, bagaimana perasaan gadis itu ketika itu. Ketika menulis kalimat sandi ini. Pikirannya semakin kuat ketika dia memecahkan kalimat kedua dengan cara yang sama:

gaermaaussesbael

Berubah menjadi:

gemasebelassuara

Gema Sebelas Suara.

Suara. Gema. Pikirannya berputar. Apa maksudnya? Apa yang bergema? Bersuara? Ingin sekali dia menelepon gadis itu sekarang dengan handphone-tugas yang sekarang tergeletak di sampingnya untuk menanyakan maksudnya. Tapi dia merasa percuma. Satu-satunya nomor yang tersimpan di handphone itu, yaitu nomor gadis itu, tidak aktif sejak dia mencoba meneleponnya tadi malam. Kalaupun dapat tersambung, dia tahu itu takkan memecahkan masalahnya. “puzzle ada untuk dipecahkan, kan?” dia sangat yakin dengan kalimat yang akan didapatkannya dari suara gadis di ujung sana.
Pikirannya kembali mengambang. Berpetualang. Mencari-cari. Apa ini? Apa maksud dari puzzle ini? Dia ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya?.. Tiba-tiba ada kesedihan yang begitu dalam menyeruak dari dalam hatinya. Mencekatnya erat tak bergerak. Kegelisahan, kesendirian, ketidak-lengkapan, kehilangan, penasaran, berkumpul menjadi satu rasa. Dia akan pergi.. benarkah?
Kepalanya berusaha keras dengan perasaan menggebu-gebu untuk mencari tahu makna dari kalimat sandi tersebut. Hal ini adalah hal yang sangat mereka sukai berdua. Jiwanya tertantang memecahkan berbagai teka-teki dan mencari berbagai petunjuk. Tapi hatinya begitu ketakutan, sebaliknya. Hatinya takut untuk mengetahui kebenaran dan maksud dari kalimat itu, jika itu memang benar artinya adalah perpisahan. Hati kecilnya lebih memilih untuk tak dapat memecahkannya. Tak mengerti maksudnya. Justru mungkin dia berharap, tak mendapat dan mengetahui kalimat-teka-teki ini.
Dia kemudian sadar, dia tak ingin kehilangan sahabatnya itu.




***

Gema sebelas suara. Apa maksudnya? Sebuah waktu? Sebuah tempat? Sebuah peristiwa? Apa itu? Lalu apa arti kalimat yang ketiga? Dia bahkan belum dapat memecahkan teka-teki yang ketiga. Selama enam jam lebih dia berkutat pada kalimat ketiga dan memecahkannya dengan berbagai teknik yang ada di buku pelajarannya, dia tetap tak menemukannya. Dia merasa ketiga kalimat itu berhubungan, dan jika kalimat ketiga belum terpecahkan, dia berpikir mungkin dia masih belum dapat mengerti maksud kalimat ‘gema sebelas suara’ itu.
Dia kembali mengamati tulisan nama kontak di handphone-tugas itu. Nama gadis itu. Satu-satunya daftar kontak yang ada di handphone-nya. Begitu juga sebaliknya, namanya juga merupakan satu-satunya daftar kontak yang ada di handphone gadis itu. Dua handphone itu berpasangan. Hanya mereka berdua yang mendapat hak istimewa mendapat handphone itu di angkatan mereka dan dipilih langsung oleh kepala sekolah. Dua orang dengan nilai tertinggi selalu dipilih di tiap angkatan tiap tahunnya untuk menjalankan tugas khusus memecahkan kasus-kasus misterius di masyarakat di luar jam pelajaran. Handphone lipat tersebut selain untuk berkomunikasi mereka berdua ketika dalam penyelidikan kasus, juga sebagai pengenal bahwa mereka adalah siswa khusus. Mereka dapat menunjukkan tanda segi enam khusus yang ada di sisi luar chasing handphone tersebut sebagai identitas ‘siswa khusus’ kepada polisi atau warga sipil sekitar untuk kemudahan bantuan dalam penyelidikan kasus.
Handphone-tugas. Begitu mereka berdua gemar menyebutnya. Meskipun terdapat aturan tertulis bahwa handphone tersebut hanya boleh digunakan untuk kepentingan penyelidikan kasus, mereka sering menggunakannnya untuk komunikasi berdua –saling bercerita atau saling menukar kata sandi- ketika mereka tak dapat berkomunikasi melalui surat, atau tak dapat bertemu selama beberapa hari. Sering mereka menggunakannya berjam-jam saling mengobrol di waktu malam untuk membahas segala hal. Seringkalinya berhasil, hanya satu kali ketahuan. Mereka selamat karena perkataan mereka berdua tepat dan sama persis: “kami menggunakannya untuk membahas sidik jari pada pot ketiga pada kasus 253”. Mereka mengatakannya ketika mereka berdua diintrograsi secara tersembunyi, terpisah,dan bersamaan. Tak ada hal yang patut dicurigai oleh pihak sekolah pada mereka berdua, kecuali mereka bertindak lebih jauh dengan mendengarkan rekaman telepon mereka berdua di kantor pusat informasi. Entah sejak kapan, hubungan mereka dibangun dari kepercayaan sangat tinggi, saling mengantisipasi, melengkapi, dan.. teka-teki.
Kenapa handphone-nya ia matikan? Dia masih bertanya dalam hati. Benarkah?
Seketika ia terkesiap. Dua menit terakhir ia gunakan untuk mengenang kenangan mereka berdua, bukannya memecahkan kata sandi itu. Hatinya berlawanan dengan pikirannya.
Gema sebelas suara. Sebelas. Dia berusaha kembali fokus. Dia melirik kalender duduk yang ada di mejanya. 11. Tak ada hal yang istimewa dengan angka itu di kalender. Hanya tertulis hari Jum’at. Tak ada lagi. Satu-satunya yang menarik perhatian hanyalah tanggal 15. Hari Selasa. Hari ini. Dia melingkarinya dengan spidol warna hitam untuk mengingatkan dirinya bahwa hari ini dia harus menyerahkan berkas-berkas hasil penyelidikan dua kasus yang mereka tangani sebulan ini. Dia kembali melihat sekeliling. Berfokus pada benda-benda di mejanya, Entah kenapa, dia melihat kode tato di lengan tangan kirinya. K - 4 1 1 7 3 2. Deret kode yang dimiliki tiap anak di sekolah tersebut yang dipakai sebagai ‘nama baru’ mereka. Deret kode yang membuatnya dipanggil dengan sebutan ‘K’ oleh teman-temannya. Dia melekatkan pandangannya ke deret angka tersebut. Percuma, tak ada yang bisa didapat. Mengerti arti deret angka itu saja tidak. Bukan ini.
Sejak tadi dia menyentuh kertas itu dengan tangannya, tapi tak ada yang terbaca. Tak ada energi ataupun emosi sedikitpun yang tertinggal di kertas itu. Dia selalu tak dapat ‘membaca’ gadis itu. Dia terus mencari-cari. Rambut kemerahannya sejak tadi basah penuh keringat. Tak terkecuali muka, leher,lengan dan hampir keseluruhan permukaan tubuhnya. Pikirannya fokus, seolah tak merasakan hawa kamarnya yang selalu mulai terasa panas ketika pagi tersebut. Matanya tertambat pada kotak Rubix 4x4x4 yang ia dapatkan beberapa bulan lalu. Kotak rubix yang selain memiliki enam sisi warna berbeda, juga memiliki angka berurutan dari 1 hingga 16 di setiap sisinya. Dia membutuhkan waktu dua bulan untuk menyelesaikannya, karena selain harus menyamakan warna, dia juga harus mengurutkan ke-16 angka itu dalam waktu bersamaan untuk dapat menyelesaikannya. Dia mendapatkan rubix tersebut, setelah sanggup menyelesaikan tantangan dari gadis itu untuk menyelesaikan kotak Rubix 3x3x3 dalam waktu lima belas menit dan dia hanya membutuhkan waktu tujuh menit dalam sekali mencoba.
“Lihat, tujuh menit tiga puluh satu detik!” katanya sambil melihat di tangannya.
“Tiga puluh dua detik, Key!” kata gadis itu, mengkonfirmasi ulang. “tapi, bagaimana bisa? Katanya kamu belum pernah menyelesaikan sebelumnya?”
“Entahlah. Aku membutuhkan lima menit pertama untuk memikirkan logika termudahnya. Lalu di sisa dua menit berikutnya aku hanya menjalankannya perlahan. Hehehe..”
I see.. ” kata gadis itu, mudah menangkap apa yang terjadi. Gadis itu tersenyum, “sebagai gantinya, ingin hadiah apa?”
“Hadiah? Emm.. entahlah. Terserah aja.. aku hanya suka memecahkannya.” katanya, juga tersenyum.
“Bagaimana kalau kotak Rubix?”
“Kotak ini?”
“Bukan, yang lainnya. Kamu sudah memecahkan yang satu ini. Rubix jenis lain.”
“Oh ya? Ada yang lain?” katanya antusias.
“Tentu saja. Ada banyak..”
“Enam belas. Bagaiamana kalau kotak Rubix 4x4x4? Adakah?”
“Ada. 5x5x5 juga ada kok.”
“Gak, yang 4x4x4 aja.”
“Kenapa? Yang lebih mudah? Hehehe..” gadis itu tertawa kecil.
“Bukan.” katanya yakin. “Karena aku suka angka 16. Menandakan bentuk persegi. Bujur sangkar. Kuadrat. 4x4. Dapat dibagi 2. Angka 16 itu adalah angka yang sempurna dan seimbang. Kalau itu dijadikan bentuk ruang menjadi bentuk ruang balok yang sempurna. Pernah memikirkannya?”
“Hahahaha!..” Gadis itu tertawa lepas. “Kamu itu aneh. Itu kan hanya angka..”
“Biarlah.. Manusia hidup itu harus menyukai sesuatu. Dan aku suka angka 16 dan balok.”
“Iya.. tapi kenapa 16?” sanggahnya. “Kenapa bukan angka 7? Atau 9? Banyak hal yang dimulai dengan 7, seperti langit ketujuh, surga dan neraka lapis tujuh, kaya tujuh turunan, agen 007, dan lain-lain. Angka 9 juga banyak dipercayai oleh banyak orang sebagai angka bagus. Angka yang membawa keberuntungan..”
“Aku gak suka, itu aja. Lagipula, pandanganku tentang keberuntungan itu beda.”
“Oh ya?”
“Menurutku, keberuntungan itu dibentuk dari usaha kita. Keberuntungan itu reaksi dari aksi. Aksi, tindakan kita. Semakin sempurna apa yang kita lakukan, maka keberuntungan kita semakin besar. Mungkin keberuntungan tak dapat ditebak, tapi dapat dibentuk dan diarahkan. Orang yang semakin sering berlatih, semakin menyempurnakan tindakan, semakin banyak ilmu dan pengalaman, sensitifitas akan hal terkecil, adalah orang yang paling beruntung. Keberuntungan itu kecelakaan yang hanya terjadi pada yang siap menerimanya.”
“Oh.. keren!...” kata gadis itu dengan mata berbinar. “Aku setuju!”
“Lagipula,” katanya lagi. “kita menyukai sesuatu hanya pada hal yang cocok dengan jiwa kita, kan?”
“Tapi,” kata gadis itu kemudian, “setelah mendengar kamu menjelaskannya, aku jadi ikut suka dengan angka 16. Iya ya, angka itu seimbang.”
“Hahahaha.. sekarang kamu yang aneh. Masa menyukai sesuatu hal karena orang lain?!”
“Biar. Manusia hidup itu harus menyukai sesuatu.” gadis itu membela diri.
“Hei, itu kalimatku..”
“Baiklah, rubix 4x4x4 ya..” Gadis itu memakai caranya untuk memutus perdebatan. Dia tersenyum. “Besok.”
Dia kembali tersenyum ketika mengingat hal itu. Sejak saat itulah gadis itu menyukai angka 16 dan balok, seperti dirinya. Begitu banyak hal telah mereka lewati berdua sejak pertama kali masuk ke sekolah ini. Banyak hal. Sekali lagi, rasa kehilangan itu menyeruak pekat secara tiba-tiba. Membenamkan perasaannya jatuh ke dasar paling dasar.
Matanya kembali melihat jam dinding. Sekarang menunjukkan pukul 07:17. Kalau saja bukan karena berkas-berkas ini dan dia meminta ijin untuk tidak mengikuti pelajaran jam pertama dan kedua, dia pasti sudah terlambat masuk ke kelas sekarang.



***

Lingkungan bangunan sekolah yang dibangun sejak tahun 80-an itu tenang. Semua anak yang sedang mengikuti pelajaran khidmat mendengarkan kalimat yang dijelaskann oleh masing-masing guru di kelasnya. Pohon Asam yang tumbuh besar tepat di samping lonceng tua berkarat yang biasa dibunyikan untuk tanda masuk dan bubarnya kelas itu memberikan kesan sejuk sepanjang hari, seolah tak pernah mengenal teriknya siang hari. Dinding kayunya yang bercat putih memberi efek pencahayaan yang cukup, mengimbangi luasnya cabang pohon asam yang menutupi hampir tiga per empat cahaya matahari yang masuk.
Lonceng yang memiliki ukuran diameter kira-kira sepanjang 2 meter tersebut terletak di atas menara di ujung lorong, yang memiliki atap di atasnya agar lonceng tersebut terhindar dari terik matahari. Jika saja sang pembangun sekolah ini tahu bahwa pohon asam kecil dua puluh tahun lalu itu bisa sebesar sekarang, mungkin dia akan merasa percuma membangun atapdi atas lonceng. Menara lonceng tersebut terletak di ujung lorong berbelok, yang membentuk huruf ‘U’ bersiku jika dilihat dari atas. Jika ditanya alasannya, untuk mengelilingi sebuah lapangan kecil berumputlah mengapa lorong tersebut dibuat berbelok dua kali dan membagi lorong tersebut menjadi tiga lorong bersambung. Sembilan kelas. Tiga kelas per lorong. Siapapun tak akan menyangka tiga kelas yang tersisa itu bukanlah digunakan untuk pengajaran untuk pendidikan anak SD, melainkan sekolah pengajaran khusus untuk anak-anak yatim piatu yang berkemampuan khusus.
“Ayo, Nona See!” kata seorang pria tua paruh baya dengan pakaian jas lengkap. Dia berusaha keras berteriak sambil mendongak ke atas menara lonceng agar suaranya terdengar. “Turunlah! Kita segera mau berangkat!”
“11 menit 11 detik lagi, kan?” katanya yakin. Rambut pirangnya terlihat agak kecoklatan tertimpa bayangan dari cabang dan daun pohon asam. “Aku masih mau menunggunya di sini sebentar lagi..”
Pria paruh baya itu melihat jam tangannya yang berwarna keemasan sekali lagi. Pukul 07:18. Lebih beberapa detik. Seperti biasa, selalu tepat. “Baiklah! Saya cuma ingin memastikan!..”
Gadis itu tak menjawab. Dia tak peduli, seolah-olah segala yang terjadi telah diketahuinya lebih dulu. Bersandar pada kedua lengannya, matanya memandang lurus ke depan melihat pepohonan di bukit-bukit jauh di seberang. Juga tampak sejuk seperti tempatnya sekarang. Pikirannya melambung tinggi, tak benar-benar berada di bukit itu. Apa yang dilakukannya sekarang, ya? Apa dia mampu memecahkannya?
“Hihi.. mungkin dia akan kesulitan..” gadis berkulit putih itu tersenyum. Dia tak kuasa menahan imajinasinya membayangkan ekspresi anak laki-laki itu tiap kali berusaha memecahkan teka-teki atau hal misterius dari kasus yang mereka pecahkan bersama. Ekspresi serius mencari petunjuk, mencari jawaban dari pertanyaan ‘apa?’ dan ‘mengapa?’ di kepalanya, mengumpulkan apapun pecahan-pecahan hal terkecil di sekitarnya, kemampuan merangkai tiap hal dan mensimulasikan dan memikirkan percabangan serta kemungkinan yang dapat terjadi sesuai fakta, mencocokkan dengan segala motif, dan terakhir: menemukan jawabannya. Meskipun di luar selalu terlihat ceria, tapi sangat misterius di dalam.
Dia masih ingat ketika pertama kali bertemu anak laki-laki itu ketika baru masuk ke sekolah ini hampir setahun yang lalu. Anak itu mengulurkan tangannya duluan tanpa berkata apapun.
“Hai, aku C – 1 4 1 1 2 3.” kata See waktu itu. Dirinya menjabat tangan yang ditutupi sarung tangan kulit itu sambil tersenyum kecil. “Yang lain biasa memanggilku: See. Sesuai huruf terdepan dari kodeku.”
Anak laki-laki itu tak merespon. Mereka saling berpandangan dalam waktu lama.
“Kau juga pasti memilikinya.” Masih teringat, dirinya ketika itu lalu membuka sarung tangan yang menutupi tangan kirinya. Dirinya hanya memakai sarung tangan di tangan kiri agar tanda itu tak terlihat. Seketika terlihat tanda tato kecil dengan bentuk deret kode biner yang diikuti di bawahnya deret huruf dan angka yang bertuliskan: C – 1 4 1 1 2 3 di punggung tangannya. Dirinya lalu menunjukkannya. “Seperti ini. Semua anak di sini memiliki ini di tubuhnya. ”
“Oh,” anak laki-laki itu sekejab tersadar, seperti kembali ke dunia nyata. “Ini, di lengan kiriku. Baru kemarin mereka membuatnya di sana.” Dapat langsung terlihat, lengan kiri tersebut ditutupi kapas yang ditempel dengan plester di sekelilingnya.
Dia terdiam mengamati anak laki-laki itu sesaat. Tak dapat langsung menjawab dengan refleks. “Em, ya.. Butuh sekitar satu bulan untuk kering. Mereka memakai tinta khusus.”
Anak laki-laki itu kemudian mengambil sobekan kertas kecil di saku bajunya. “Emm.. aku..” dia lalu membacanya. “K – 4 1 1 7 3 2.”
Hening sesaat.
“Emm.. Hai, Key.”
Hening kembali. Mereka saling memandang. Mereka saling mengamati tiap gerak terkecil dan mimik ekspresi dari lawan bicara di depan mereka. Mereka seolah-olah ingin mengkonversi waktu beberapa bulan yang dibutuhkan untuk mengenal kepribadian seseorang hanya menjadi beberapa detik.
“Ya..” anak laki-laki itu berusaha keras tersadar. “Wah.. jadi Key, ya? Oh ya, maaf pembicaraannya menjadi kaku gini. Kesalahanku tiap bertemu orang baru, selalu berusaha ingin mengetahui dan ‘membaca’ orang itu lebih dulu.”
Dia sedikit terkejut. “Hehehe, kok sama ya.. Aku juga melakukan hal yang sama.”
“Iya, hehehe.. Seharusnya aku melihatmu ketika berinteraksi dan berbicara dengan orang lain dulu selama beberapa menit, baru berkenalan. Jadi pembiacaraan kita gak kaku begini.”
“Hahaha.. tahu gak, aku juga tadi berpikiran sama lho ketika baru bersalaman tadi!..”
“Benarkah? Hahaha..” kata anak laki-laki itu. “Mungkin kita manusia sejenis..”
“Hahaha.. mungkin.”
“Tahu gak, aku sering berpikir: apa yang akan dilakukan saat dua orang jenius saling bertemu untuk pertama kalinya? Apa yang pertama kali dilakukan?”
“SALING MEMBACA PIKIRAN!!” kata mereka berdua serentak.
“Hahahahaha!..” mereka berdua tertawa bersamaan sambil saling berpandangan.
“Haha.. aku tak menyangka kalau ada orang yang juga pernah memikirkan hal itu.” Katanya. “Dan kau adalah anak laki-laki dan manusia pertama yang berpikiran sama denganku!”
“Hahaha.. Aku juga.” jawab anak laki-laki itu. “Hai, aku Key.” Dia mengulurkan tangannya untuk kedua kalinya.
“Aku See.” Dia menjabat tangannya untuk yang kedua kalinya. Itulah kali pertama mereka bertemu, di perjumpaan yang kaku namun penuh kejujuran. Perjumpaan dua orang yang senasip dan mampu saling merasakan, mungkin.
Sejak saat itu mereka berdua sering mengobrol dan saling bertukar pikiran. Mereka seperti baru pertama kali bertemu orang sejenis yang mengerti mereka satu sama lain. Seperti kalimat yang selalu mereka sukai: “Anjing dapat merasakan kehadiran anjing lain. Iblis sanggup merasakan kehadiran iblis lain. Orang aneh dapat merasakan kehadiran orang aneh lainnya.” Dan mereka selalu tertawa terbahak-bahak tiap kali selesai mengatakan kalimat itu secara bersamaan. Pemikiran mereka sering sama dan serupa. Sering mereka membahas tentang kehidupan, terkadang tentang cinta, tak jarang tentang pola berpikir dan pemahaman tentang dunia, dan kebanyakan tentang teka-teki, symbol, arti, bahasa-bahasa asing, ataupun manipulasi pikiran. Mereka berbagi hal-hal yang mereka sukai dan juga yang mereka benci. Seringkali mereka sepaham, tapi tak jarang juga berselisih paham tentang teori atau suatu hal yang mereka temui.
Dia teringat satu kali ketika belajar di kelas, Pak Tano, guru yang mengajar pelajaran tentang Time Management bertanya kepada seluruh murid di kelasnya ketika memulai kelasnya.
“Anak-anak, menurut kalian, apa yang paling berharga bagi manusia di dunia ini?”
Untuk sesaat kelas menjadi hening. Para murid tahu, ini adalah kalimat jebakan. Jawaban dari kalimat ini pasti bukan jawaban umum yang biasa dijawab orang awam pada umunya.
“Ilmu Pengetahuan!” jawab beberapa anak seketika.
“Hmm..” Pak Tano bergumam.
Kelas kembali beku. Semua anak terlihat berusaha memikirkan jawabannya. “Ada lagi?”
“Kebijaksanaan, Pak!” jawab satu anak lainnya.
“Kecerdasan!” yang lainnya tak kalah.
Pak Tano tersenyum senang. “Hmm.. jawaban-jawaban yang brilliant! Bagus! Ada jawaban yang lain lagi?”
Hening kembali. Ini terasa mulai berat ketika semua hal yang terlintas di pikiran kita telah diutarakan oleh orang lain. Apa lagi yang mungkin?
Semua anak berpikir keras, mencari jawaban-jawaban lain yang mungkin. Atau, jika beruntung, jawaban yang diinginkan Pak Tano yang sebenarnya. Key kemudian tiba-tiba mengangkat tangannya. “Waktu, Pak!”
Ekspresi wajah Pak Tano berubah seketika, seolah-olah dia baru menemukan sebongkah besar emas ketika mendulang emas di sungai. “Benar! Waktu.” Pak Tano tak perlu menggiring anak-anak untuk mencari jawabannya lebih jauh lagi.
Semua wajah anak menoleh ke arah Key. Lalu berganti kembali ke arah Pak Tano, ketika orang tersebut menjauh dan mengambil kapur di bagian bawah papan tulis.
“WAK… TU.” Pak Tano lalu menuliskan tulisan ‘waktu’ di papan tulis dengan huruf besar. “Kenapa waktu? Key, bisa jelaskan?”
“Ya..” Key agak tergagap. “Itu.. Em.. Mudah. Segala hal di dunia ini terikat oleh waktu. Segala proses aksi reaksi tak dapat dipisahkan oleh waktu. Begitu juga dengan kehidupan manusia. Manusia dapat berhasil jika dia dapat memanfaatkan waktu dalam hidupnya sebaik-baiknya. Waktu juga berarti kesempatan bagi manusia. Sesuatu yang dapat membuat mereka memperbaiki kesalahannya, atau melakukan apa yang diinginkannya dengan sebaik-baiknya. Melalui waktulah, manusia dapat menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Melalui waktu, manusia mencari pengalamannya, bertemu orang-orang yang disayanginya seperti keluarga, teman, sahabat, menemui masalah yang menempanya, belajar hal baik dan buruk. Manusia berubah karena waktu. Waktu, yang membiarkan semuanya terjadi. Itu menurut pendapat saya, Pak.”
“Ya, bagus sekali,” jawab Pak Tano puas. “Seperti itulah kira-kira yang..”
“Pak!” See tiba-tiba mengangkat tangannya ketika itu.
Semua anak menoleh, tak terkecuali Pak Tano. “Ya?”
“Menurut saya, yang terpenting yang dimiliki manusia adalah.. ingatan.”
Pak Tano diam sesaat. “Ingatan?”
“Ya. Ingatan.”
“Bisa jelaskan?”
See terlihat berpikir sebentar. Dia berusaha menggali, mencoba mencari susunan kata yang paling mudah menggambarkan pikirannya.
“Begini.. manusia terus melalui perjalanan hidupnya dan belajar tanpa henti.” See memulai. “Manusia melakukan itu untuk apa? Untuk mendapat pengalaman. Untuk mencetak segala hal yang telah dilaluinya agar permanen di pikirannya. Untuk mengingat. Manusia menggunakan ingatan untuk melakukannya. Manusia belajar, membaca buku berulang-ulang juga bertujuan agar dapat mengingat. Selama hidupnya, manusia terus menjalani hidupnya dengan proses mencetak ingatannya, entah tanpa disadari ataupun tidak. Ingatan itu begitu berharga. Kenapa? Karena ingatan menyimpan informasi, seperti layaknya memori. Ingatan mencetak segala hal yang dilakukan, dilalui, dan juga diajari. Sebuah track record. Itulah mengapa ada seseorang yang dapat diburu seluruh agen di seluruh di dunia karena informasi yang diketahuinya. Seseorang dapat ditentukan hidup atau matinya, seringkali dari informasi yang dimilikinya. Manusia dapat mencapai puncak tertinggi, memiliki ilmu pengetahuan tiada batas, pengalaman, harta benda melimpah dan juga kedudukan. Tapi bagaimana jika dia dalam sekejab hilang ingatan? Tiba-tiba semua informasi di dalam kepalanya hilang, atau tak terbaca? Dia kembali nol. Tak berharga. Itulah mengapa ingatan itu harganya tak ternilai dibandingkan dengan apapun. Kita mungkin dapat kehilangan seseorang yang kita sayangi, tapi ingatan ketika bersama orang itu, kasih sayang, senyuman, perkataan orang itu, dapat selamanya hidup dalam ingatan kita. Terus membekas dan tak ingin kita lupakan selamanya. Bahkan ingatan seringkali terasa lebih nyata dari kenyataan. Menurut saya itu, Pak. Ingatan. Yang paling berharga dari manusia itu adalah ingatan yang dimilikinya. Manusia dinilai dari pikirannya, kan? Maukah anda menukar semua ingatan yang anda miliki saat ini dengan segala hal berharga di dunia? Ditukar dengan harta benda? Atau mungkin, ditukar dengan waktu hidup yang lebih lama? Sangat konyol jika ada yang bersedia, karena ketika mereka mendapatkannya, mereka telah lupa semuanya dan semua hal yang didapat itu menjadi tidak berharga lagi.”
Semua mata terpana melihat See ketika menjelaskan pemikirannya saat itu. Pak Tano, yang terkagum dengan kalimat super tajam yang baru didengarnya dari muridnya tersebut, secara refleks bertepuk tangan.
Semua anak-anak ikut bertepuk tangan, mengikuti Pak Tano. Key juga tak ketinggalan ikut menggambarkan kekagumannya. Suasana di kelas menjadi riuh seketika.
“Anak-anak, kalian seharusnya bangga memiliki teman seperti See ini. Dia mampu memberi gambaran serta membuka pemikiran kita tentang betapa pentingnya ingatan kita..” berbeda dengan sebelumnya kali ini, Pak Tono berbicara dengan semangat yang menggebu-gebu. “See baru saja membuka pikiran bapak, ternyata benar, ingatan kitalah hal yang paling berharga di dunia. Benar, jika mungkin ada seseorang yang tiba-tiba menawari saya bahwa dia dapat menghidupkan kembali istri saya yang tercinta tapi sebagai gantinya semua ingatan saya tentang istri saya dihapus, saya tidak akan menerimanya. Kalaupun itu bisa terjadi, lalu untuk apa? Saya menjadi tidak ingat lagi tentang istri saya, padahal kenangan dan ingatan itulah hal yang paling berharga.”
Pak Tano lalu terdiam sesaat. “Saya akan lebih memilih semuanya berjalan seperti ini saja. Dia terus hidup abadi dalam ingatan saya..”
Suasana dalam kelas itu tiba-tiba hening sesaat.
See masih tertegun melihat bukit nan jauh di sana. Awan sedikit bergulung di atasnya. Beberapa camar terlihat mengepakkan sayap di atas langit. Mereka pasti membuat sarang di salah satu pepohonan itu.
Ia mengambil buku gambarnya di tasnya. Ia ingin menggambar sesuatu. 9 menit.. masih sempat.
Dia kembali ingat, di kelas itu setelahnya Pak Tano menjelaskan tentang peranan waktu dan pentingnya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Beliau juga menjelaskan tentang sifat manusia yang ingin mengendalikan waktu dengan membuat segala hal berjalan sangat cepat dan akhirnya mereka justru diperbudak oleh waktu itu sendiri. Manusia tak terbebas dari hukuman era modern abad ini yang mereka ciptakan sendiri, yaitu: Jadwal. Beliau juga menjelaskan sedikit tentang keinginan manusia yang ingin menciptakan mesin waktu dan apa yang ingin dicapainya oleh benda itu. Manusia ingin memiliki dan mengetahui segala hal. Manusia ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu agar masa depannya lebih baik lagi. Di inti pembicaraan, Pak Tano menjelaskan bagaimana mengefisienkan waktu dalam kehidupan sehari-hari pada murid di kelas itu agar lebih bijak lagi dalam memanfaatkan waktu.
“Kalau ada mesin waktu, pasti enak ya..” kata Key, ketika waktu istirahat siang, saat mereka berdua duduk santai di pinggir lapangan rumput sambil melihat beberapa anak main kejar-kejaran dan sepak bola. Sudah jelas, pelajaran dari Pak Tano tadipagi mempengaruhi pikirannya.
“Memangnya mau apa, kalau ada mesin waktu?” timpal See seketika.
“Ah, tapi gak. Gak mungkin mesin waktu itu ada.” Key menyangkal kalimatnya sendiri. “Dipikir seperti apapun, teknologi secanggih apapun, itu gak mungkin. Banyak benda-benda teknologi super canggih di jaman sekarang yang dikembangkan dan diciptakan yang bersumber dari imajinasi dan impian orang jaman dulu yang dianggap mustahil utuk dapat terwujud. Dan pasti akan ada banyak benda lagi yang kita bayangkan sekarang mustahil, yang mungkin akan dibuat menjadi nyata di masa depan. Semuanya imajinasi itu mungkin, tapi tidak dengan impian orang tentang mesin waktu. Logikaku masih belum dapat membayangkan bagaimana logika tentang mesin waktu. Lagipula mesin waktu itu adalah sebuah benda fisik kan? Sebuah mesin kan? Tak ada satu partikelpun di semesta ini yang tak terikat kontrak hukum oleh waktu.”
See hanya mengangguk perlahan, menunggu penjelasan selanjutnya.
“Jika memang mesin waktu itu dapat dibuat, bagaimana mesin itu dapat melintasi waktu? Misalkan, jika mesin itu melewati waktu 30 tahun ke depan dari sekarang, bagaimana kondisi mesin itu mampu tetap, tanpa mengalami korosi yang seharusnya dialami benda selama 30 tahun? Ya, kan? Kalaupun mampu membuat pelindung atau selubung energi untuk melindungi agar mesin dari mesin waktu terpisah dari efek waktu, bagaimana caranya? Kita hanya dapat membengkokkan ruang dan waktu, tapi membuat teknologi yang terpisah dengan hukum waktu, itu tidak mungkin.”
“Hmm.. ya, aku setuju dengan pemikiranmu barusan.” kata See, akhirnya. “Ini yang aku pikirkan, jika memang dapat menembus waktu ke masa depan, misal ke 30 tahun dari sekarang, mesin waktu dan orang yang menjelajahi waktu tersebut seharusnya akan mengalami kerusakan sebuah benda atau tubuh manusia selama 30 tahun. Setelah sampai di masa depan, orang tersebut akan menjadi tua, dan mesin tersebut mungkin rusak. Jadi, sebenarnya mesin waktu itu hanya ‘mempercepat waktu’, bukan ‘menjelajah waktu’.”
“Wow..” Key tampak antusias. “Teruskan.”
“Ya, itu hanya mempercepat waktu. Jadi, jika dia menjelajahi selama 30 tahun ke depan, dia akan mempercepat proses tersebut dan sampai dengan sangat cepat. Istilahnya, dia mempercepat umurnya sendiri. Sebenarnya, yang dia alami adil, seperti yang dialami oleh orang biasa yang melewati kehidupannya selama 30 tahun ke depan dengan wajar. Bedanya, dia mencapainya lebih cepat, menurut yang diarasakan pikirannya tentunya. Sedangkan yang lainnya melalui proses normal. Misal, ada 2 orang A dan B. Si A dan B adalah saudara kembar dan memiliki umur sama. Ketika berumur 15 tahun, karena tidak sabar si A menggunakan mesin waktu untuk melewati 30 tahun ke depan. Menurut yang dia rasakan, dia mencapainya selama 2 menit dengan mesin waktu. Sesampainya di masa depan 30 tahun kemudian, ternyata dia menua hingga berumur 45 tahun, dan saudaranya si B juga berumur 45 tahun. Tentu saja si A meninggal dunia karena perbedaan waktu yang super-cepat ini. Kenapa? Karena saudaranya si B melanjutkan hidupnya selama 30 tahun dengan hidup wajar, sedangkan si A menghabiskan waktunya selama 30 tahun diam di dalam mesinnya tanpa melakukan apapun. Si B merasa kehilangan saudaranya sejak berumur 15 tahun karena hanya melihat saudaranya terdiam seperti patung selama 30 tahun di dalam mesinnya. Perbedaan waktu 2 menit di dalam mesin waktu dan 30 tahun di dunia nyatalah yang menyebabkannya. Seperti halnya kamu makan 1 kue selama 2 menit, tapi kegiatan itu diperlambat menjadi selama 30 tahun. Sedangkan tubuhmu masih tetap membutuhkan ratusan ribu kue selama 30 tahun dan mengalami sistem metabolisme tubuh manusia seperti halnya orang hidup di waktu normal.”
“Kerenn!! Satu teori lagi tentang mesin waktu!..”
“Tapi itu hanya pemikiranku sih,” katanya kemudian. “Belum tentu benar. Lagipula masih ada yang kurang..”
“Ya, selubung energi untuk melindungi partikel yang mengalami percepatan waktu itu, agar hanya mengalami proses waktu seperti di dalam mesin, bukannya ikut terseret hukum waktu di luarnya dan ikut menua secepat itu. Masalahnya, kalaupun dapat membuat selubung energi itu, membutuhkan enegi sebesar apa? Lalu apa resikonya? Aku yakin, seminimal-minimalnya itu akan merusak partikel ruang dan waktu dengan radius satu kilometer. Dan tak mungkin diperbaiki.” Kata Key menjelaskan.
“Benar. Resiko dari merusak hukum alam Tuhan.” See meihat ke langit biru, mencoba mencari sesuatu. “Resiko dari keegoisan manusia yang ingin menguasai sang waktu. Lagipula, kita hanya dapat mempercepat maju ke depan, ke masa depan. Tak ada jalan kembali untuk mundur ke belakang, ke masa lalu. Karena waktu itu memiliki arus untuk ke arah masa depan. Kita hanya dapat mempercepat, atau memperlambatnya. Namun tak dapat mundur ke belakang. Sehingga tak ada istilah yang namanya ‘merubah masa lalu untuk merubah masa depan’. Itu hanya ada di film-film luar negeri. Teori dari Albert Einstein tentang membelokkan ‘ruang dan waktu’, yang katanya sebuah lubang hitam itu merupakan gerbang ‘teleport’ ke lubang hitam lain-pun belum dapat dibuktikan. Meskipun teori tersebut menjelaskan bahwa bagian dalam lorong itu mempersingkat waktu lintasan dari jarak dua lubang hitam yang ber-milyar tahun cahaya menjadi sekejab itu benar, tapi kita tak mungkin melakukannya. Gaya grafitasi lubang hitam itu sangatlah besar, hingga dapat menyedot cahaya di alam semesta sekitarnya. Semua benda yang masuk, tanpa terkecuali tubuh manusia, pasti akan hancur sebelum mencapai gerbang lorong satunya, meskipun sekejab.”
“Ya.. dilihat dari sudut manapun, Tuhan tak mengijinkannya, manusia untuk menjelajahi waktu.” Key menyimpulkan kalimatnya.
“Ya… kita sependapat.” See mengangguk.
Untuk sesaat mereka menikmati langit biru dan semilir angin yang berhembus di tengah udara lapangan berumput tersebut. Anak-anak yang tadinya asik bermain sepak bola, beberapa di antaranya duduk untuk istirahat.
“Eh, ngomong-ngomong tentang menjelajah waktu, aku punya sebuah permainan.” See langsung berwajah ceria, yang kemudian sibuk merogoh tas ranselnya. “keluarkan pulpen dan buku catatanmu.”
“Eh?” Key lalu ikut mengeluarkan pulpen dan buku catatannya. “Oke..”
“Sudah siap?” Key mengangguk.
“Sekarang, coba tulis sebaris kalimat di kertasmu. Setelah selesai, tutup catatanmu. Aku akan mencoba menjelajah waktu, dan menuliskan kalimat yang sama untukmu.” kata See, berwajah serius.
“Hehe.. Is it a trick?” Key curiga melihat gelagat temannya satu ini.
“Yee.. Bukan! Ini beneran!” See agak jengkel, keseriusannya diremehkan. “Udah deh!.. ikut aja permainannya..”
“Hahaha!.. Oke, oke.. aku akan ikut permainan..” Key kemudian ikut serius. “Terserah ya, pokoknya sebaris kalimat?”
See hanya mengangguk. Dengan buku catatan membelakangi posisi See, Key mulai terlihat menggerakkan pulpennya. See terlihat mencurahkan konsentrasinya ke anak-anak yang berada di lapangan. Seperti layaknya pesulap di televisi yang akan menebak kartu yang dipilih penonton, ia ingin memastikan apa yang dilakukannya: aku tak melihat apapun.
“Oke, sudah.” kata Key kemudian. Ia menaruh pulpennya di bawah, membalikkan buku catatannya ke arah bawah dan menaruhnya di atas pahanya.
“Wow, cepat..” See kembali berkonsentrasi ke permainan. Ia mengambil buku catatan dan pulpennya. “Benar sebaris kan?”
Key tak merespon. Tangannya memegang buku catatannya sangat erat dan matanya sangat fokus berkonsentrasi pada tiap gerak-gerik yang dilakukan oleh See. Jika ini adalah sebuah trik sulap, sekaranglah See akan melakukannya.
“Haha.. santai aja..” See dengan mudah mampu merasakan tekanan itu. Dia mulai menulis. “Oke, akan kutulis.”
Dia terlihat menulis sesuatu yang panjang. Sesaat dia berhenti menulis, menatap tajam mata Key, lalu kembali menulis. Beberapa kali dia berhenti, dan seolah-olah berfikir atau menduga-duga, lalu kembali menulis.
Setelah kurang lebih 3 menit, ia berhenti menulis. Ia menaruh pulpennya di bawah, membalikkan buku catatannya menghadap ke bawah menaruhnya di atas paha, persis seperti yang Key lakukan.
“Ah, lama nih!..” kata Key pertama kali bersuara.
“Menurutmu, apa aku bisa menebak yang kamu tulis?” kata See.
“Gak mungkin ah!”
“Kenapa gak mungkin?”
“Yah.. aku tadi gak melihat gerak-gerikmu mengintip tulisanku. Satu-satunya cara adalah membaca pikiranku. Dan aku ragu kamu bisa membaca pikiranku. Hahaha..”
“Hahahaha.. begitu ya.. Bagaimana kalau aku bisa menebak dengan benar?”
“Gak mungkin! Kulihat tadi kau seperti menulis kalimat yang panjang, sedangkan yang kutulis di bukuku adalah kata yang pendek. Lagipula kemungkinan untuk benar menulisnya adalah sangat kecil.”
“Oke, untuk pertama kalinya, apa kalimat yang kamu tulis?”
“Oh, sudah boleh?” kata Kay. “Lorem Ipsum.
“Oke, ayo kita bertukar buku catatan.” Kata See akhirnya. See mengangkat buku catatannya lalu memberikannya kepada Key. Hal yang sama, juga dilakukan oleh Key, sehingga buku mereka akhirnya saling tertukar.
Mereka saling memandangi buku catatan tersebut.
Key segera bersuara. “Hahaha.. lihat! Apa yang kau tulis tak…” tapi Key tak melanjutkan kalimatnya. Tak dapat melanjutkan. Suasana menjadi sunyi senyap seketika. See juga tak bersuara, ikut menyempurnakan keheningan mereka berdua.
Suasana masih hening untuk beberapa saat. Berkali-kali mata Key berganti-ganti, antara melihat tulisan di dalam catatan, melihat ke wajah See, kembali ke tulisan dalam catatan, kembali melihat wajah See. Berulang-ulang. “Bagaimana.. bisa?” ia bergumam pada dirinya sendiri.
See masih diam dan terus mengamati ekspresi terkejut dari Key.
“Bagaimana bisa?” Key kembali mengatakan kalimat yang sama. Kali ini sebuah pertanyaan. Tentu saja untuk See.
See hanya tersenyum. “Mungkin sedikit beruntung.”
Key terdiam. Seolah begitu banyak hal yang sedang dipikirkannya. Ia berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia bertanya-tanya, kemungkinan apa saja yang dapat menghasilkan fenomena seperti ini. Ia tanpa sadar meletakkan buku catatan See. Buku catatan yang halaman jelas tulisan tangan See.


-Ah, lama nih!
-Gak mungkin ah!
-Aku tadi gak melihat gerak-gerikmu mengintip tulisanku. Satu-satunya cara adalah membaca pikiranku. Dan aku ragu kamu bisa membaca pikiranku.
-Gak mungkin! Kulihat tadi kau seperti menulis kalimat yang panjang, sedangkan yang kutulis di bukuku adalah kata yang pendek. Lagipula kemungkinan untuk benar menulisnya adalah sangat kecil.
-Oh, sudah boleh? Lorem Ipsum.



***

6 menit. See telah selesai menggambar di buku gambarnya. Ia menyobek halaman kertas itu, dan melipatnya sebanyak dua kali sehingga ukurannya sekarang menjadi seperempatnya.
Secara samar-samar, terdengar suara langkah kaki orang yang sedang berlari dari kejauhan. Suara itu perlahan menjadi semakin keras dan keras hingga menjadi semakin jelas dan dekat.
Dari atas atap, dia mendongak ke arah bawah di kejauhan. Terlihat seorang anak laki-laki berlari menuju ke arah sekolah itu. Dia akhirnya datang..

Bersambung..


18 Responses to "-The Last Meeting (Part 1)-"

nee.Ya.nia Says :
26 September 2011 pukul 21.13

bikin penasaran.. alurnya bagus.. susah ditebak, tp kita liat aja sambungannya :p

menurutq agak sedikit boring di tengah-tengah.. pas membicarakan waktu.. gak tau, mungkin terlalu rumit, walau masi bisa dimengerti sih .. hehe..

kalo menurutq lagi,,kata 'dirinya' gak enak..., mending pake dia.. soalnya dari awal pake dia kan? ini sudut pandangnya orang ketiga di luar cerita kan?

ini settingnya bukan indonesia? atau indonesia, tp sekolahnya gaya asing? atau gimana?

Unknown Says :
30 September 2011 pukul 07.53

yang pas membicarakan waktu itu rumit ya.. hmm.. boring gimana??

pake dia. oke, masukan diterima. :D

background... masih absurd di pikran saya, apakah itu indonesia, atau bukan.. XD yang jelas, aku berusaha gambarin detail tempatnya kayak apa. bukan negara.

nee.Ya.nia Says :
1 Oktober 2011 pukul 13.58

em.. gak tau, kyaknya key n see kurang chemistry aja.. kyaknya key bicara ke dirinya sendiri.. (haha sok tau aq ini.. :P )

:)

baik.. diterima.. soalnya bingung sih,, bangunannya kayak bangunan luar negeri, ada lorong..menara lonceng.. eh tau2 pohonnya pohon asam.. haha.. mau gak mau agak ganggu dikit.. hihi

IMHO gan.. :D

Unknown Says :
1 Oktober 2011 pukul 14.13

oh.. biar kucek lagi dialognya wes.. :D

hahaha.. emang di luar negeri gak ada pohon asam ya?! XD *baru nyadar*

:) thanks for the support.

Canty Gracella Lamandasa's blog Says :
30 Desember 2011 pukul 12.15

great plot :D saya suka dgn permainan puzzle. Penasaran, jadi still waiting for the next part. Ganbatte :')

Unknown Says :
15 Januari 2012 pukul 00.05

alur ceritanya manstab... tapi belum klimaks nich..

blog lirik lagu Says :
22 Februari 2012 pukul 16.01

kenapa ga di bikin cerpen aja gan, ceritanya bagus...

Scaffolding Says :
30 Maret 2012 pukul 11.32

Ini bukan sekedar corat-coret tapi ini curhatan :D
Salam kenal

Doni Says :
30 Maret 2012 pukul 11.33

keren ceritanya, coba buat novel aja kak

adit Says :
30 Maret 2012 pukul 11.34

waah ditunggu nih part 2 nya, penasaran

cara pemesanan gamat luxor Says :
9 April 2012 pukul 08.34

can't wait for the next posting...

obat herbal kanker kulit Says :
11 April 2012 pukul 19.19

aku penasaran sih , ga baca semuanya tapi kapan2 aku baca lagi semuanya

obat sakit darah tinggi Says :
19 April 2012 pukul 13.23

diksi yang efektif dan baik,,,,

salam kenal dan teruslah berkarya,,,

Obat Stroke Tradisional Says :
6 Juni 2012 pukul 19.52

sukses aja juragan seru abis jaga kesehatan yah....

Posting Komentar